8

611 87 3
                                    

Terlihat seorang pemuda dan seorang gadis yang berjalan di tepi jalan di sebelah sana. Beberapa kali angin lembut berhembus dengan begitu nyaman terasa. Membuat beberapa kali sang gadis harus merapikan rambut panjangnya yang sedikit berantakan. Beberapa kali juga dedaunan di jalanan bergemirisik saat sang angin berhembus, bagai sapu alam yang memindahkan tumpukan daun ke tempat yang lain. Lalu memindahkannya lagi. Lalu menerbangkannya lagi.

Hanya itu yang dapat terlihat. Hanya itu yang dapat diungkapkan pada suasana saat itu.
Karena tak ada ucapan. Karena tak ada obrolan. Saat kedua mulut rasanya terantai oleh rasa canggung, hanya kesunyianlah pilihan terbaik. Saat lidah terasa kelu oleh rasa tak biasa, maka keheningan adalah hal yang menyenangkan.

Beberapa jauh sudah mereka melangkah. Menapakkan kedua kaki mereka dalam dekapan kebisuan. Karena ketika mulut ini ingin berucap, saat itu juga rasa ragu akan melilit lidah mereka. Membuat mereka terpaksa menelan kembali kalimat yang ingin terucap.

Azizi masih terus berjalan dengan memasukkan sebelah tangannya dalam saku jaketnya. Sedangkan tangan yang lain meremas tiga gulungan map yang berwarna biru muda itu.
Kedua matanya menatap ke depan, dengan sorot tenang dan santai. Sekalipun apa yang dia rasa sekarang seharusnya tak mengijinkannya untuk menampakkan sorot demikian.

Chika masih menunduk. Ia masih berjalan. Ia hanya melangkahkan kaki begitu saja. Kedua matanya berkali-kali bergerak resah. Dalam benak, ia tak habis pikir, bagaimana ia bisa berakhir seperti ini? Bagaimana bisa ia sekarang berjalan dengan seorang lelaki? Berdua? Bagaimana bisa?

Hanya pertanyaan yang mengandung kalimat bagaimana bisa saja yang berkelumit di benak Chika. Kedua tangannya bertaut di depan dadanya. Saling meremas. Menahan rasa aneh dan tak biasa di dalam sini.

"Rumah kamu di mana?" tanya Azizi yang memutuskan untuk memecah keheningan.
Rasanya, begitu mulut ini sudah dapat bergerak, semua seolah terbang begitu saja. Semua belenggu menyiksa rasanya terpatahkan sudah.

"Di...Perumahan Gandaria," jawab Chika setelah mampu menghilangkan kekagetannya akibat ucapan Azizi yang membuyarkan kebisuan yang beberapa saat menyelimuti mereka rapat-rapat.

Azizi mengangguk meskipun ia tahu bahwa Chika tak akan menyadarinya.
"Oh iya, apakah kamu pernah ke Mesjid yang di perempatan jalan sana?" tanya Azizi, "Aku pernah ke sana. Dan saat itulah pertama kalinya aku lihat kamu."

Chika mengangguk, "Aku sering ke sana sama Kak Boby."

"Oh....," Azizi seperti baru menyadari sesuatu, "Apa itu cowok yang sama kamu waktu Festival malam kemaren?"

"I...iya," sekali lagi Chika mengangguk lirih.

"Pasti dia sangat sayang ama kamu Chika," ujar Azizi.

Chika tersenyum lirih, "Sebenernya, dia itu sepupu aku. Tetapi dia udah aku anggap kayak saudara sendiri."

Chika mengangkat sebelah alisnya saat telinganya mendengar Azizi tertawa kecil. Dalam hati Chika merasa cemas. Apakah dia baru saja berucap sesuatu yang konyol? Yang memalukan?

"Chika, Gausah gugup gitu loh, santai aja" ucap Azizi jujur, "Pasti ini pertama kalinya kamu jalan sama cowok ya?"

Chika menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Meredam rasa malu. Mengubur dalam-dalam keinginan untuk menghilang dari bumi.
"Bagaimana kalau kita ke sana dulu? Kamu suka, kan?" ujar Azizi yang mengalihkan pembicaraan.

Perlahan, pemuda itu juga merasa tak tega melihat gadis itu terpuruk malu begitu. Meski Azizi akui bahwa dia suka melihat wajah Chika yang tertunduk malu, ia suka saat mendengar suaranya yang tergagap, namun saat melihat bagaimana Chika terlihat begitu tersiksa dengan keadaan dirinya sendiri, mau tak mau akhirnya Azizi menyesal juga.

True FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang