"Hosh...Hoshh."
Desahan nafas keras-keras itu tanpa henti terdengar dari mulut Azizi. Bahkan untuk bernafaspun ia masih belum cukup jika hanya menggunakan hidungnya.
Udara di luar dingin, seolah jaket tebal itu tak mampu memberi kehangatan barang sejenak padanya.Kedua kaki itu terus dipaksakan oleh pemiliknya untuk melangkah di sepanjang trotoar. Sebelah tangannya terus berpegangan pada tembok pembatas jalan yang ada di sampingnya. Tertatih-tatih ia melangkah.
Berkali-kali mulut itu mengeluarkan darah saat bahkan batuk kecil yang menyerangnya.Wajah tampannya terus saja mengernyit, meski tak ada sinar dari matahari yang menerpanya. Keringat dingin bercucuran dan membasahi parasnya, dengan mulut pucatnya yang terus bergetar oleh dingin dan rasa sakit.
Payah sekali. Lemah sekali. Buruk sekali.
Sial. Untuk apa Aldo memanggilnya? Kenapa bukan dia saja yang datang ke rumah?Pemuda itu terus melangkah hingga ia sampai di sebuah lapangan basket yang tua.
Dari luar, pasti tak akan ada yang menyangka bahwa halaman kosong yang tertumbuhi rumput liar tak terawat dan dikelilingi oleh pagar seng itu adalah sebuah lapangan basket.Azizi menghentikan langkahnya. Sudah lama sekali ia tidak ke sini. Penyakitnya ini nyaris menghapus segala kegiatannya untuk berada di luar. Rasa pedih ini yang nyaris membuatnya menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berdiam diri di kamar.
"Do.." sapa Azizi saat ia sampai di dekat seorang pemuda yang terduduk di sebuah bangku tua di samping lapangan, "Ada apa?"
"Lo sembunyiin apa dari gue Zee?" ujar Aldo.
Azizi menyipit heran kala menyadari betapa anehnya sahabat yang tengah terduduk dan berkata tanpa sekalipun memandang wajah Azizi itu. Suaranya terdengar begitu kaku. Tak ada lagi canda. Tak ada lagi sorot wajah cengengesan yang selalu ia tunjukkan tiap kali ia berucap apa saja pada Azizi.
Hingga Azizi tahu, pasti yang akan dibicarakan olehnya adalah sesuatu yang penting dan serius."Gue?" Azizi menarik nafas dalam-dalam sebelum ia berucap, "Apa maksud lo Do?"
Aldo berdiri dari duduknya. Saat ia menolehkan kepalanya ke arah Azizi. Azizi harus menelan ludah saat melihat betapa ganjilnya tatapan mata itu.
Bukan tatapan mata yang ceria. Bukan tatapan mata yang tak pernah ada masalah seperti yang selalu Aldo tunjukkan. Namun kini, Azizi bisa melihat ada rasa sakit di sana. Ada sorot kegetiran yang terpendam dalam warna biru langitnya.Sejenak hanya kebisuan yang menyelimuti mereka. Tanpa Azizi tahu harus berbuat dan berkata apa. Karena Aldo pun tampaknya juga menikmati keheningan ini. Karena Aldo pun tampaknya tetap ingin mendiamkan kesunyian ini untuk sementara.
Hanya suara hembusan lirih dari angin yang terdengar dan membuat tubuh Azizi makin mengerut kedinginan."Katakan," ujar Aldo akhirnya, "Lo suka sama Chika?"
Azizi untuk sementara hanya terhenyak beku di tengah terpaan angin sore. Hingga membuat pemuda itu seolah lidahnya kelu untuk barang merespon ucapan Aldo dengan satu huruf saja.
Oh Tuhan, hal yang sangat tidak diinginkan Azizi untuk terjadi, kali ini menjadi kenyataan sudah! Dan entah mengapa, ada rasa tak enak sekali di dalam sini.
"Uhuk!" Azizi menunduk dan meludah, hingga pasir putih di bawah kakinya yang semula berwarna putih, kini terdapat percikan cairan merah di atasnya.
"Lo...lo ngomong apa sih Do?" ujar Azizi yang masih mencoba untuk berpura-pura.
Akan sebisa mungkin ia pertahankan semuanya. Akan sebisa mungkin ia mengkokohkan benteng kepalsuannya. Benteng yang sudah ia bangun dengan mengorbankan perasaannya. Benteng kepalsuan yang ia bangun dengan penderitaan demi kebahagiaan sahabatnya, demi kebaikan Chika, dan demi dirinya sendiri pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Friend
FanfictionSaat makin kuatnya tautan tangan itu, saat makin eratnya Azizi menggenggam jemarinya, Chika menunduk dalam sambil merasakan debaran rasa di dalam dadanya. Akhirnya ia biarkan. Kalah akan dorongan kuat dalam dadanya. Biar saja tetap seperti ini. Chi...