5

734 79 2
                                    


Azizi perlahan melangkah di antara susunan anak tangga. Langit sudah mulai berganti warna, mengganti corak jingga-kemerahan dengan warna gelap. Bayang-bayang manusia di luar sana sudah memanjang ke arah Barat, seolah menandakan bahwa sebentar lagi akan menjelang malam.
Suasana sepi. Tak ada siapapun di rumah sebesar ini. Hanya detak jam dinding di ruang tengah saja yang bisa terdengar jelas. Selain itu tak ada. Hanya sepi. Kesunyian.
Rumah yang cocok sekali menjadi kuburan.

Baru saja Azizi memegang daun pintu kamarnya, ketika ia berpaling saat terdengar suara dari kamar di sampingnya.

"Azizi, aku mau ketemu ibu," ujar seorang pemuda yang berdiri di depan pintu kamar yang berwarna putih.
Jinan.
Pemuda yang lebih tua beberapa tahun dari Azizi kini berdiri sembari menatap Azizi dengan sorot mata memohon. Berharap tulus, dan seolah tak menghendaki adanya penolakan. Membuat tangan Azizi yang semula memegang daun pintu, kini tangan itu luruh seketika.

"Aku mau ketemu ibu Zee" ujar Jinan lirih.

Dalam hati, Azizi merasa terenyuh. Sungguh, pemuda yang ada di depannya itu sama sekali tak tampak seperti Jinan yang dulu pernah mengantarnya ke sekolah saat kecil.
Bukanlah kakaknya yang akan selalu menggendongnya di punggung kala Azizi lelah berjalan. Bukanlah sosok Jinan yang dulu sangat melindunginya.
Sama sekali beda. Total tak sama.
Sosok lemah dan rapuh itulah yang kini tampak dari Jinan. Sosok dengan penuh raut kesedihan dan kepahitan yang selalu terpancar dari wajahnya. Rasa takut oleh kekelaman kehidupan, rasa terpuruk oleh kejamnya takdir Tuhan.
Tak sekali dua kali sering Azizi mendapati Kakaknya itu menangis dalam sunyi di kamarnya. Tak jarang pula Azizi melihat kedua mata yang dulu bersorot tegas itu kini memancarkan pandangan sendu.

Betapa trenyuh hati Azizi saat melihat pipi itu basah oleh air mata. Betapa luruh hati Azizi saat melihat wajah itu menangis tanpa isakan. Hanya dalam diam. Hanya dalam keheningan. Seolah tak mengijinkan siapapun untuk mendengar dan mengetahuinya.

Sering kali Azizi bertanya, mengeluh, kemana perginya Jinan yang dulu? Kemana rasa tegarnya yang selalu Azizi kagumi dulu? Mengapa sekarang ia tampak sangat berbeda? Jangankan untuk melindungi Azizi, untuk menjaga dirinya sendiri saja mungkin Jinan tak mampu.
Tetapi, betapapun rapuhnya Jinan, ia masih lah Kakak kandung Azizi. Betapa lemahnya Jinan, ia masih lah satu-satunya saudara yang Azizi punya. Ia masih lah satu-satunya pemilik respek terbesar dari Azizi betapapun berbedanya Jinan kini. Satu-satunya orang yang Azizi harapkan kehadirannya di dunia ini.
Karena tak ada lagi kata 'papa'. Tak ada lagi seseorang yang masih bisa mereka sebut 'papa'. Semua hilang begitu saja. Semua punah dengan demikian cepatnya. Tak ada kebahagiaan di rumah ini. Hanya air mata. Hanya rasa duka.

Azizi tersenyum kecil sembari mengulurkan tangan kanannya pada Kakaknya.
"Ayok"

Azizi tahu, pasti ini akan menjadi tindakan yang sangat berisiko. Tentu saja jika semua ini diketahui oleh Gracio. Harga diri dan kehormatan dirinya di mata umum jauh lebih penting ketimbang kebahagiaan anak-anak kandungnya. Pandangan publik jauh lebih berharga ketimbang membiarkan putranya yang cacat mental berada di luar sana.
Tapi siapa yang peduli pada resiko sekarang? Melihat Jinan yang memohon tulus padanya, cukup mengobarkan rasa nekat dalam diri Azizi.
Melihat betapa matanya bersorot memohon, cukup untuk membuat Azizi berani mengenyahkan resiko-resiko itu dari otaknya.
Lagipula, sekarang bukanlah jam Ayah pulang dari kerja. Pasti mereka bisa keluar dengan mudahnya.
Tentu saja jika satu satunya wanita di rumah itu tidak memergoki mereka.

~

Angin sore berhembus lirih di lapangan terbuka itu. Lapangan yang terlihat banyak batuan putih dengan gundukan-gundukan. Lapangan tempat di mana manusia yang telah mengakhiri masa dunianya, akan ditempatkan dalam kesunyian di bawah sana.
Namun, sedingin apapun angin yang berkali-kali menerpa tubuhnya, tak membuat Azizi mengalihkan pandangannya sedetikpun dari sebuah nisan di depannya sana. Ia masih berdiri, menatap dengan sorot datar ke deretan huruf yang merangkai sebuah nama.

True FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang