Mereka berjalan dalam kebisuan. Mereka melangkah terburu dalam keheningan. Hanya suara hela nafas dan pekikan orang lain yang terdengar. Hanya suara detak jantung yang kiranya makin keras terdengar.
Azizi berjalan di depan Chika dan Ara. Membiarkan jiwanya hancur sedikit demi sedikit seiring api yang melahap habis seluruh bagian bangunan. Ia biarkan hatinya teredam pedih, ia biarkan sukmanya merintih perih.
Tak pernah Azizi begini merasa sebagai pecundang. Pecundang yang bahkan untuk jujur saja ia tak sanggup. Pecundang yang bertingkah sok pahlawan. Pecundang yang akhirnya harus juga menyelamatkan satu-satunya orang yang membuat hidupnya hancur.Sakit saat melihat betapa erat tangan Ara menggenggam kedua bahu istrinya. Perih saat mendengar Ara mengatakan sejuta kata ketenangan yang Azizi harap mampu ia ucapkan untuk wanita yang sama. Pedih saat melihat betapa berbedanya cara Ara menatap Chika, begitu lembut, sebuah tatapan yang wajar diberikan seorang suami pada istrinya yang ketakutan.
Azizi membenci semua itu. Betapa Azizi rasanya jauh lebih baik terpendam dalam reruntuhan atap gedung ini daripada ia harus melihat pemandangan seperti itu. Ia lah seharusnya yang menggantikan posisi Ara. Hanya ialah yang pantas melakukannya!Dan sakit itu semakin parah tiap kali melihat Chika tersenyum merespon pandangan lembut suaminya. Rasa kecewa itu semakin menjadi melihat tangan Chika yang mengelus penuh kasih jemari suaminya yang bersandar di bahunya.
Mengapa demikian? Padahal Chika tahu Azizi ada di sana. Ia sadar Azizi berada di depan mereka!
Tidak ingatkah Chika akan hari-hari yang terangkai bersama? Begitu mudahnya kah semua kenangan itu tergantikan oleh kenangan yang lain? Begitu rendahnyakah harga diri Azizi sekarang di mata orang tercintanya?Kemanakah gadisnya yang dulu? Gadis yang selalu grogi saat berada di dekatnya. Gadis yang memohon agar Azizi tak pernah berpaling dan menjauh darinya. Gadis yang mengatakan dan selalu mengatakan bahwa ia akan senantiasa mencintainya.
Hilang kemanakah semua itu?
Tak pernah terpikirkankah oleh Chika akan perasaan Azizi sekarang? Atau ia sengaja tak mau berpikir, atau sengaja ia enggan untuk menerka?
Tetapi, mengapa Azizi marah? Punyakah ia hak? Adakah hak untuk melarang Chika bersikap seperti ini? Bukankah semua ini sudah sepatutnya terjadi?Chika telah menjadi seorang istri, ia bahkan akan menjadi seorang Ibu dalam waktu dekat ini. Pantaskah jika seandainya ia masih menyimpan rasa pada mantan kekasihnya, tak peduli seberapa indah perasaan itu telah tercipta bersama?
Sudah seharusnya semua ini terjadi. Chika sudah melakukan sesuatu yang benar. Ia sudah memilih jalan yang tepat. Dan Azizi, tak punya sama sekali kemampuan untuk menghalanginya."Lift-nya gak bakal bisa kebuk," ujar Azizi setengah melampiaskan amarahnya.
Tak mau ia melihat pada pasangan yang berada di dekatnya, sebisa mungkin, ia arahkan pandangannya ke arah yang lain, kemanapun, asal tidak melihat betapa berubahnya wanita yang selama ini ia kasihi.
"Apa tidak ada jalan lain?" tanya Ara dengan suara tetap datar, tetap tenang.
Setenang saat dia berbicara pada Azizi dulu. Sesabar saat dia mengantarkan Azizi pada akhir cintanya waktu itu.
Meradang Azizi mendengarnya. Bergejolak darahnya merespon ucapannya.
Lupakah ia akan apa yang ia lakukan? Menyingkirkan Azizi dengan caranya yang licik! Membuat Chika menjadi miliknya dengan ikatan yang sesungguhnya merupakan keterpaksaan. Membuat Chika tunduk pada sebuah kewajiban yang tak mampu ia elak!
Tanpa menjawab pertanyaan Ara, Azizi berbalik dan menuju ke arah lain, namun ia secara refleks terjatuh mundur saat sebuah reruntuhan atap dengan api, terjatuh nyaris menimpanya.
"Agh!" keluhnya saat punggungnya membentur lantai yang terasa panas sekali meski tak ada api yang membakarnya.
Ia berharap akan terjadi sesuatu. Ia berharap Chika akan merunduk dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri.
Ia berharap Chika mampu menghilangkan segala kekecewaan yang ia rasakan hanya dengan satu uluran tangan saja.
Ia berharap Chika mampu membuatnya tenang, membuatnya percaya bahwa ia masih ada untuknya, hanya dengan satu pertanyaan. Pertanyaan seperti 'kamu gapapa?'.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Friend
FanfictionSaat makin kuatnya tautan tangan itu, saat makin eratnya Azizi menggenggam jemarinya, Chika menunduk dalam sambil merasakan debaran rasa di dalam dadanya. Akhirnya ia biarkan. Kalah akan dorongan kuat dalam dadanya. Biar saja tetap seperti ini. Chi...