*BRAK!
"Argh!"
Azizi menoleh dan mendapati balok-balok kayu yang terbakar api terjatuh dari atap, dan menindihi Ara serta membuat Ara terhimpit di antara balok-balok itu dan tembok.
"Ara!" teriak Azizi.
"Tolong jangan lepasin tangan kamu dari kain itu!" teriak Ara di sela-sela suara bara api yang berkobar besar di depannya, "Kamu bisa membunuh mereka!"
Benar!
Jika Azizi melepaskan pegangannya, maka dapat dipastikan, Chika akan meluncur bebas ke bawah.Azizi hanya bisa melihat. Azizi tak mampu berkata. Di tangannya bergantung dua nyawa yang sedang berjuang untuk tetap bertahan. Dan di depan matanya adalah nyawa yang perlahan demi perlahan tak bisa ia selamatkan.
Setelah itu tak ada kata-kata. Setelah itu semua terdengar sunyi. Hanya suara api yang mampu didengar Azizi. Hanya degup jantungnya yang berdetak kian cepat.
Dan Tuhan memang punya kehendak lain.
Sebuah balok kayu yang lain terjatuh dan menimpa separuh badan Azizi, sehingga tubuhnya terjatuh dan tergeletak payah di atas lantai."Argh!"
Tapi tangan itu tetap terangkat,sekalipun tubuh itu telah tersungkur keras, untuk tetap tetap erat menggenggam kain gorden itu. Tangan itu masih menggenggam erat sebuah harapan sekalipun raga itu telah terancam.
Betapa berat balok kayu ini. Betapa panas rasanya api yang perlahan Azizi rasakan membakar punggung hingga kakinya.
Tidak. Tangannya tak bisa terlepas.
Tak bisa lepas sekalipun ia harus meregang nyawa.Aldo, ia telah memasrahkan Chika pada Azizi. Ia rela menyingkir agar Azizi dan Chika mampu bahagia. Ia meminta Azizi bersumpah untuk menjaga Chika. Nyawa Aldo tak bisa Azizi tebus dengan sebuah pengkhianatan. Pengorbanan Aldo tak bisa ia ludahi dengan pengingkaran. Sekali ia pernah gagal melindungi bintang mereka, dan kini ia bersumpah.
Ia bersumpah enggan untuk mati sebelum ia menepati sebuah janji suci.Ara pun telah meminta Azizi untuk menyelamatkan anak dan istrinya. Ia memasrahkan takdir keluarganya di tangan Azizi. Tangan dari seorang rival cintanya. Seorang lelaki yang dibenci sekaligus pernah dilukainya. Kini lelaki itu pula yang berjuang untuk tak menyia-nyiakan pengorbanannya.
Tubuhnya mungkin telah hangus terbakar bersama balok di sana. Sukmanya mungkin telah terpisah.
Namun Azizi masihlah memegang janjinya. Janji pada lelaki yang ia benci. Janji dari suami wanita yang amat ia kasihi.Nafasnya kian berhembus cepat. Jantungnya seolah teremas oleh rasa sakit. Punggungnya seolah dilumuri oleh lahar panas.
Belum bisa. Chika belumlah sampai.Tuhan, pikir Azizi. Jikalau akhirnya sekarang aku harus pergi, maka beri aku waktu. Beri aku kesempatan untuk mampu meninggalkan semuanya dengan perasaan tenang. Jangan beri aku penyesalan yang tak berkesudahan sekalipun nyawa ini telah menghilang.
Perlahan, oleh kedua matanya yang mulai terasa berat untuk membuka, Azizi melihatnya di sana. Melalui tatapannya yang terlihat mulai tak jelas, Azizi mendapati sosoknya berdiri di sana.
Dia ada di sana. Berdiri dengan senyumnya yang lebar seolah tak ada duka yang pernah ia kenal. Dia di sana, berdiri tegap dengan kedua tangan berkacak pinggang, seolah ia mampu menantang dunia. Dia di sana, menatap Azizi dengan kedua bola berwarna coklat cerahnya.
"Aldo."
Tubuh ini semakin payah. Jiwa ini terasa begitu lemah. Semua bagian dari dirinya seolah telah meneriakkan kata-kata menyerah.
Tapi tidak dengan tangannya.
Tangan yang akan tetap menggenggam harapannya.
Harapan yang sebelumnya tak mampu ia pertahankan, kini ia bersumpah untuk memilikinya sampai ajal datang menjelang.
Dan saat Azizi rasakan beban di kain yang ia pegang telah hilang, maka semuanya telah berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Friend
FanfictionSaat makin kuatnya tautan tangan itu, saat makin eratnya Azizi menggenggam jemarinya, Chika menunduk dalam sambil merasakan debaran rasa di dalam dadanya. Akhirnya ia biarkan. Kalah akan dorongan kuat dalam dadanya. Biar saja tetap seperti ini. Chi...