19

474 64 2
                                    

"Dilaporkan seorang Ibu menganiaya anak tirinya hanya karena anak tirinya enggan untuk menuruti perintahnya untuk membeli minyak ke warung…."

Sang kameramen hanya menghela nafas lelah di antara sela-sela kesibukannya untuk mengambil gambar dari seorang reporter yang menjadi rekan kerjanya. Pekerjaan ini terasa membosankan sebenarnya. Apa yang diberitakan itu-itu saja. Semua terasa monoton.

Seperti sekarang, kasus kriminialitas atau penganiayaan sudah beberapa kali dalam seminggu ini ia liput untuk redaksi tempat di mana ia selama nyaris dua tahun ini bekerja. Dari kriminalitas sederhana seperti pencurian TV, hingga pembunuhan terencana dan mutilasi, sudah menjadi 'santapan' khas dirinya.
Bukannya apa, hanya saja terkadang pekerjaan ini begitu melelahkan. Satu hari dia di Jakarta, mungkin esoknya ia bisa langsung terbang ke kota lain untuk memburu berita. Tak jarang, jarak jauh ditempuhnya hanya untuk mendapatkan informasi dari berita yang pada intinya sama juga dengan berita sebelumnya.

Apalagi sekarang, suhu panas kota Jakarta membuatnya akhir-akhir ini sering uring-uringan. Rasa lelah, ditambah dengan sinar matahari yang menyengat, membuatnya sulit sekali untuk tetap berada dalam kondisi mental yang sabar. Itupun jika berita yang ia liput adalah berita sederhana yang tak memerlukan kemampuannya untuk saling 'adu otot' dan 'adu suara' macam kala ia meliput sebuah berita bentrokan.

"Istirahat dulu," ujar salah seorang kru saat mereka telah menyelesaikan shoot berita pertamanya.

Sang kameramen menghela nafas sejenak, untuk kemudian mematikan kamera dan mengalungkan talinya ke lehernya. Kedua matanya agak memicing karena silau saat melihat kesana kemari. Sungguh panas adalah yang dari dulu, amatlah ia benci.

"Sebentar lagi kita akan terbang menuju Yogyakarta. Istirahat satu jam, nanti kita langsung ke bandara," ucap yang lain.

"CK," dengus sang kameramen itu dengan muak.

"Kak Zee kenapa, lagi rumit banget kayanya ya"

~

Menjadi seorang kameramen akhirnya adalah sebuah pilihan hidup Azizi. Bangku kuliah dari sebuah universitas terkemuka di Jakarta, ia tinggalkan demi menggeluti pekerjaannya ini. Meskipun pada awalnya Gracio keberatan atas keputusannya, namun perlahan dia menerima. Terima kasih pada Jinan dan segala usahanya untuk membantu Azizi meyakinkan ayahnya.

Mengapa kameramen? Entahlah, Azizi sendiri tidak tahu mengapa. Ia hanya secara spontanitas saja mendaftar ke sebuah redaksi berita saat dibutuhkan lowongan, dan ternyata, ia diterima dan mau tak mau, Azizi harus bersikap serius agar tak mengecewakan para rekannya.

Tepatnya beberapa waktu yang lalu, saat hidupnya terombang-ambing oleh ketidakpastian untuk mau dibawa kemana, saat ia sendiri tak tahu harus berbuat apa, saat pekerjaan yang dilakukannya hanya mengulas masa lalu di benak dan pikirannya, Azizi melihat sebuah lowongan pekerjaan menjadi kru berita di TV.

Daripada harus menghabiskan waktu untuk meratapi takdir, bukankah lebih baik ia gunakan waktu itu untuk menyibukkan diri?

Apa gunanya semua air matanya jika tak akan ada satu hal pun yang mampu ia rubah? Percuma saja jika dia terus meratap jika sesungguhnya ia tak mampu lagi untuk berharap. Tetap saja semua akan menjadi seperti ini, tak peduli betapa dalam dan lamanya pun dia bersedih.

Azizi tahu, ia tak akan pernah sanggup untuk melupakan satu kenangan tertentu. Azizi tahu, semua usahanya untuk bangkit pada akhirnya hanya menjadi bentuk penyiksaan pada batinnya sendiri. Azizi mengerti, seberapa besar keinginannya untuk memendam semua masa lalu, tak akan pernah berhasil selama raga ini masih mampu berjalan, selama nafas ini masih sanggup berhembus.
Dan selama rasa ini masih singgah di hatinya yang perlahan membeku.

True FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang