"Pergunakan waktu kalian sebaik-baiknya untuk belajar. Ujian hanya tinggal beberapa hari lagi. Dan…."
Wanita dengan rambut pendek itu berbicara dengan tegas di podium di dalam aula yang besar itu.
Sejumlah anak yang tergolong dalam tingkatan kelas teratas, tampak berbaris rapi dan berdiri tegap di depannya. Sekalipun suasana hening dan terdominasi oleh pidato sang Kepala Sekolah, namun itu tak berarti bahwa seluruh siswa tengah menikmati nasehat panjang lebarnya yang terasa monoton itu."hih…lama banget," gumamnya pelan. Untung saja, suara Bu Melody yang keras karena bantuan mikropon, menelan suara Aldo. Jadi, para guru di sana tidak akan mendengarnya. Tentu saja akan lain jadinya jika mereka memergoki Aldo menguap apalagi mencoba-coba mengobrol dengan murid lain.
"Zee, gak kerasa yah, kita bentar lagi lulus," ujar Aldo.
Azizi mendengus. Aldo sedang memancing dirinya untuk ikut ngobrol dan untuk mengurangi rasa bosan Aldo.
Dan yang paling sering terjadi adalah, hal itu akan berakhir dengan terhukumnya mereka berdua sekalipun Azizi jelas-jelas tak sudi menanggapi omongannya. Tetapi, jika ada guru yang melihat Aldo berbicara dengan wajah yang menoleh ke Azizi, tentu saja Azizi akan ikut menanggung imbasnya."Hm," ujar Azizi singkat dan tak jelas, bermaksud menyudahi omongan Aldo dan memberi isyarat bahwa ia sama sekali tak sedang dalam mood untuk melayani ocehannya.
"Lu mau kuliah di mana, Zee?" rupanya rencana Azizi gagal. Namun Azizi tetap mendiamkan pertanyaan Aldo itu hingga pemuda itu kembali berbicara, "ah iya, kenapa lu keluar dari Bimbel tanpa sebab? Banyak yang nyariin loh."
Azizi masih terdiam. Jika diamnya tadi karena dia malas membalas omongan Aldo, maka diamnya kali ini karena ia tengah mengulas dan memikirkan sesuatu di otaknya.
Memang, sudah beberapa lama ia tak pernah lagi menginjakkan kaki di Bimbel yang sudah dimasukinya selama beberapa bulan itu. Tanpa mengatakan apa-apa pada siapapun juga. Tanpa ada alasan yang jelas yang perlu ia berikan. Bahkan saat pihak Bimbel menelponnya, ia hanya akan bilang tak ada apa-apa dengan demikian singkatnya.
Saat teman-teman Bimbel mencoba menghubunginya, maka sebisa mungkin ia akan menghindar dan menolak kehadiran mereka.
Bahkan pada Aldo pun Azizi akan bungkam. Pada sahabatnya sejak SMP itu, Azizi masih akan tak mau mengungkap semuanya.Ia sudah bersumpah untuk menyimpan segalanya di bawah pengetahuannya sendiri. Ia tak akan membiarkan siapapun tahu. Karena mereka tak perlu tahu apa-apa.
Terutama Chika. Dia tak perlu tahu apa-apa. Biar dia tetap hidup dalam kebencian yang amat dalam pada Azizi. Biar di matanya Azizi tetap menjadi pemuda yang egois dan tak punya perasaan. Itu lebih baik. Sekalipun jika memikirkannya Azizi akan tersiksa, namun semua ini lebih baik.
"Zee?" suara Aldo terdengar lagi begitu pertanyaannya tidak terjawab oleh Azizi.
"Huh…gue mau masuk Universitas Negri Jakarta," ujar Azizi yang membuat sebelah alis Aldo terangkat. Terkejut, bercampur dengan rasa rasa heran yang sangat.
Aldo tanya A, Azizi jawab B. Sama sekali tidak nyambung! Namun Aldo tahu, itu adalah hal yang biasa Azizi lakukan jika ia ingin menghindari keharusan untuk menjawab dengan mengalihkan topik pembicaraan.
"Bahasa Inggris lo jelek banget di Try Out kemarin, Do," ujar Azizi yang malah membahas hal yang jauh dari topik semula.
"Ah iya," dan Aldo dengan mudahnya terpancing, "Gue khawatir gagal Ujian di mata pelajaran itu, Zee"
"Hmmm," gumam Azizi kembali ke style respon awalnya.
Dan pidato itu berlangsung selama beberapa menit ke depan. Membuat sebagian anak benar-benar mengharapkan hujan badai akan datang untuk merobohkan aula ini. Itu lebih baik daripada harus berdiri kaku di dalam sini dengan omongan-omongan khas orang tua yang harus terdengar selama beberapa waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Friend
FanfictionSaat makin kuatnya tautan tangan itu, saat makin eratnya Azizi menggenggam jemarinya, Chika menunduk dalam sambil merasakan debaran rasa di dalam dadanya. Akhirnya ia biarkan. Kalah akan dorongan kuat dalam dadanya. Biar saja tetap seperti ini. Chi...