"Aku akan bawa kamu pergi," ujar Azizi akhirnya,
"Aku akan nikahin kamu."Pernyataan Azizi sontak membuat Chika mengangkat wajahnya dan memperlihatkan kedua pipinya yang basah oleh air mata. Ditatapnya Azizi sungguh-sungguh, seolah kedua matanya sanggup menanyakan keseriusan dari pemuda itu. Ditiliknya kedua bola mata hitam Azizi, seolah berusaha mencari adakah kebohongan atau keterpaksaan yang tersimpan.
Namun tidak. Paras tampan itu menunjukkan raut ketegasan. Kedua bola mata hitam itu bersorot penuh dengan keyakinan.
Menikah?
"Jika kita udah terikat dalam ikatan suci pernikahan, maka cuma tinggal maut saja yang bisa misahin"
Terguyur oleh sejuta bahagia rasanya hati Chika kala mendengar pernyataan seperti itu terucap dengan begitu lancar dari mulut pemuda yang dikasihinya. Kalimat itu terdengar seperti sebuah simfoni alam yang begitu lembut menyapa telinganya.
Menikah?
Sungguhkah Azizi mengucapkannya? Dari lubuk hatinyakah kata-kata itu terucap dengan begitu tulus terdengar?
Mereka baru berumur 17 tahun, Tidak terlalu mudakah? Bukankah masa depan mereka masih panjang? Bukankah Azizi masih ingin mengenyam pendidikan? Bukankah ia masih ingin merasakan indahnya masa remaja yang hanya datang satu kali seumur hidup tanpa terganti?
Sungguhkah ia rela melepas semua ini demi menikah dengan Chika?
"Aku seyakin yakinnya buat ini," seolah mampu mendengar isi hati Chika, seolah mampu melihat semua kata yang terangkai secara tersirat dari ekspresi Chika, Azizi menjawab semua itu dengan kata yang melambangkan niat tulusnya.
Ya, hanya dengan menikahi Chika, maka mereka akan benar-benar selamanya bersama. Hanya dengan memasangkan cincin di kedua jemari mereka, cinta mereka akan benar-benar terjalin seumur hidup mereka. Hanya dengan ucapan janji suci yang membuat kasih mereka tetap abadi tanpa ada kata berpisah.
Dan hanya dengan pernikahanlah, Azizi mampu memiliki Chika hanya untuk dirinya, selamanya.Persetan dengan usia, persetan dengan masa remaja. Apa artinya semua itu jika ia harus melepas cintanya? Apa gunanya indahnya masa remaja jika pada akhirnya harus berujung pada kepiluan? Toh tak akan ada bedanya. Cepat atau lambat, Azizi yakin, dia akan mengucapkan kalimat seperti itu pada Chika di kemudian hari. Cepat atau lambat, toh ujung-ujungnya ia akan meminangnya pula karena ia begitu percaya akan kekuatan cinta mereka. Jadi, sekarang atau nanti, itu hanyalah masalah waktu semata.
Azizi telah bersumpah demi raga Aldo yang telah terpendam, bahwa ia akan memperjuangkan Chika. Azizi berjanji demi nafas Aldo yang menghilang, bahwa ia akan menjaga bintang mereka berdua untuk selamanya.
"Percaya sama aku, semua akan baik-baik aja," ujar Azizi meyakinkan Chika, sebelum kedua matanya setengah terpejam dengan kepala yang perlahan menunduk untuk memberikan sebuah kecupan hangat untuk kekasihnya.
Semua akan baik-baik saja.
Azizi yakin, semua akan benar-benar berakhir indah.
Tanpa mereka sadari, tak terpisah jauh dari mereka, ada sebuah hati yang perlahan terkoyak oleh rasa kecewa.
Ara.
~
Wajar saja jika Ara merasa terluka. Sah-sah saja jika ia merasa terkhianati. Sudah sepantasnya ia untuk marah dan merasa amat benci.
Bagaimana tidak, bukankah ia jauh-jauh terbang dari Jerman ke Jakarta hanya untuk bertemu dengan sang kekasih? Ia rela untuk sementara membengkalai segala pekerjaannya untuk melepas rindu dengan wanita yang selama ini ia kagumi.Dan apa yang akhirnya menjadi hasil dari usaha dan pengorbanannya? Dengan mata kepalanya sendiri Ara melihat tunangannya berciuman dengan lelaki lain!
Apa maksudnya semua itu? Kekasih Chika kah lelaki itu? Tetapi, bukankah Ara adalah tunangannya? Tidak ingatkah Chika pada kenyataan itu? Masih terpakaikah cincin pengikat hati mereka di jemari tangannya?
Bukankah hanya Ara lah satu-satunya orang yang pantas untuk menyentuh Chika? Bukankah sewajarnya jika Ara menjadi satu-satunya orang yang memeluk dan berada di samping Chika? Bukankah sudah menjadi kewajiban Chika untuk setia padanya?
Lalu mengapa ada lelaki itu? Lalu mengapa harus pemandangan semacam itu yang Ara lihat?
KAMU SEDANG MEMBACA
True Friend
FanfictionSaat makin kuatnya tautan tangan itu, saat makin eratnya Azizi menggenggam jemarinya, Chika menunduk dalam sambil merasakan debaran rasa di dalam dadanya. Akhirnya ia biarkan. Kalah akan dorongan kuat dalam dadanya. Biar saja tetap seperti ini. Chi...