11

515 81 9
                                    


Mengapa harus Chika?!

Berkali-kali pertanyaan yang sama yang terteriakkan dengan keras dari dalam hati Azizi. Hanya pertanyaan itu yang berkutat di kepalanya. Hanya pertanyaan itu yang tak akan mampu Azizi dapatkan jawabannya.
Mengapa harus Chika? Mengapa bukan Ashel?!

Gue cinta sama Chika.

Kembali ucapan itu terngiang di telinga Azizi. Ucapan yang tulus. Ucapan yang sesungguhnya terdengar indah. Sebuah pengakuan atas cinta yang murni. Sebuah pengungkapan atas rasa yang suci.
Oh, betapa cerah sinar di mata Aldo saat ia berucap demikian tadi. Betapa terdengar begitu lancar terucapnya kata-kata sederhana itu dari mulutnya. Betapa terdengar tulus. Betapa jelas bibir itu melengkungkan senyum tatkala kalimat itu terucap. Bukan senyum kurang ajar miliknya, bukan cengiran khas miliknya, dan bukan senyuman kala ia menghina atau meledek.

Senyum bahagia, senyum yang berasal dari lubuk hati yang tengah bersuka cita atas rasa yang indah.

~

Azizi menghela nafas sembari ia menatap ke langit yang menghitam.
Jadi, inikah kejujuran yang ingin Aldo ungkapkan? Inikah kejujuran yang akan ia nyatakan?

Bukankah aku sangat mengasihi gadis itu? batin Azizi pilu, Bukankah Kamu tahu bahwa aku sangat menyayanginya lebih dari aku menyayangi nyawaku?
Bukankah aku sangat ingin memilikinya, lebih dari segala yang telah Engkau ciptakan? Bukankah Kamu tahu semua itu?
Bukankah Kamu tahu betapa dia sudah mengembalikan harapanku?
Mengapa kamu ijinkan hati pria lain terketuk olehnya?
Mengapa kamu ijinkan sahabatku mencintainya? Mengapa?

Azizi mencengkeram dadanya saat rasa sakit itu kian terasa parah. Bukan sakit yang biasa ia terima karena penyakitnya. Tapi sakit yang lebih memberatkan. Sakit yang lebih menyiksa.

"Zee, mulai sekarang, bintang kita adalah sama!"

Oh, inikah arti ucapan Aldo kala itu? Bahwa ia juga mencintai bintang yang telah Azizi puja dengan demikian besar? Bahwa ia juga mengharapkan bintang yang telah Azizi genggam dengan demikian erat?

"Uhuk!"

Cairan berwarna merah itu membasahi tanah di dekat kaki Azizi. Namun Azizi membiarkannya. Ia bahkan tak mengeluarkan saputangan yang selalu ia bawa kemana-mana. Bahkan ia tak menghiraukan bercak darah yang masih berada di mulutnya.

Aku mencintai Chika.

"Uhuk!"
Azizi memejamkan matanya erat-erat saat ia merasakan sakit yang hebat mendera dada sebelah kirinya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dengan sebelah tangannya saat batuk hebat menyerangnya kala itu.
Sakit yang tak biasa. Sakit yang lebih hebat dari biasanya. Terasa membakar. Terasa meremas paru-parunya dan sama sekali tak mengijinkannya untuk menarik nafas.

Aku mencintai Chika.

Tubuh ini semakin rapuh. Raga ini semakin payah. Jiwa ini sudah terkoyak. Hati ini sudah terluka. Hanya hidup dalam penantian hingga akhir. Hanya hidup tanpa ada tujuan dan angan.
Tak ada masa depan. Tak ada yang bisa Azizi janjikan. Tak ada mimpi yang indah. Tak ada harapan yang bisa ia kabulkan.

Mungkin benar, seharusnya ia tak boleh memiliki rasa ini. Seharusnya ia tak patut mencintai satu gadis pun di dunia ini. Seharusnya ia tak boleh memberi harapan.
Karena pada akhirnya ia akan kalah. Karena pada akhirnya ia tak sanggup memberi apa-apa. Karena pada akhirnya hanya kekecewaan yang ia berikan. Karena pada akhirnya hanya rasa sedih dan duka yang mampu ia tinggalkan.

Aku mencintai Chika.

Aldo mencintainya. Azizi mencintainya pula. Namun Aldo mempunyai apa yang tidak Azizi punya. Aldo memiliki SEMUA yang Azizi tak mampu berikan.
Perlindungan. Kesanggupan untuk menemani hingga akhir. Harapan. Masa depan.
Azizi tak punya itu semua! Selain rasa sedih, penderitaan, dan kekosongan, tak ada yang Azizi miliki!

True FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang