Siapa sangka dengan poster andalan mereka, kini risol yang dijual Mikhael dan teman-temannya sudah ramai peminat. Apalagi Putra, cowok itu sangat girang sebab risol buatan ibunya selalu laris manis setiap hari. Kalau dari cerita yang Mikhael bagikan, terkadang mereka sampai lembur untuk membantu ibunya Putra membuat risol. Sebenernya itu alibi untuk mendapat jatah risol gratis jika masih sisa. Tapi Mikhael itu sepertinya memang sangat senang membantu orang lain. Bahkan dia bilang, dia sudah merenggut hati ibunya Putra, dia merasa disayangi seperti anak sendiri.
“Sekarang, Din, kalau aku main ke rumahnya Putra, beuh! Langsung disuruh makan. Kalau nggak makan nggak boleh pulang. Beneran!” ucapnya menggebu-gebu ketika kami sedang ngobrol di depan kelas. Entahlah, aku yang awalnya ingin main hp sendiri malah disusul Mikhael yang tiba-tiba duduk di sampingku sambil bercerita banyak hal.
“Terus Putra nggak cemburu lihat Mamanya lebih sayang ke kamu?”
“Aku sih nggak peduli,” jawabnya enteng.
Aku tertawa saja. Tidak heran jika Mikhael mampu menarik hati para orang tua jika setiap bertemu sikapnya selalu santun begitu. Itu pandanganku dari caranya bertemu Ayah dan Ibuku beberapa waktu lalu.
“Tapi masakan Mamanya Putra tuh emang enak banget,” ujar Mikhael lagi. Setelahnya, dia menghela napas cukup panjang. “Jadi kangen Mama.”
Aku terhenyak ketika Mikhael berucap begitu. Seperti sesuatu yang berat untuk diungkapkan, terkesan seperti itu.
“Mama kamu apa kabar, El?” Ucapanku itu bukan sekedar basa-basi. Aku sungguh ingin tahu bagaimana kabar ibunya Mikhael setelah aku dengar beliau sakit dan dirawat di rumah sakit Jogja.
“Udah lebih baik dari sebelumnya.” Mikhael menoleh padaku dengan senyuman yang begitu berat untuk disunggingkan.
“Alhamdulillah. Semoga sehat selalu, ya.”
Mikhael mengangguk. “Makasih, Adi. Baik banget.”
“Sakit apa sih, El?”
Mikhael memandang lurus ke arah lapangan sekolah. “Sakit jantung. Udah setahunan ini mulai kambuh lagi.”
“Ya Allah,” ucapku turut prihatin.
“Mungkin kedepannya aku bakal bolak-balik Kediri Jogja sih.”
Aku diam sesaat. “Kamu keren banget,” ucapku tanpa sadar.
“Hah?” Mikhael menoleh ke arahku.
Aku mengerjap. Mengingat apa yang barusan aku katakan. “Ma-maksudku, kamu hebat mau effort gitu buat Mama kamu. Aku harap kedepannya Mama kamu makin baik terus kondisinya, jadi kamu nggak perlu sekeras itu.”
Mikhael menahan tawa melihatku. Aku jadi merasa kalau aku kelihatan konyol di depannya.
“Adi, kayaknya kita harus sering cerita-cerita gini deh,” ucapnya dengan senyum yang tertahan. “Komuk kamu lucu kalau lagi terpukau sama aku,” ucapnya seraya meraup wajahku dengan telapak tangannya dari dahi hingga turun ke dagu.
Sontak aku terperanjat dibuatnya. “Terpukau apaan? Udah seharusnya kamu kayak gitu! Berbakti pada orang tua.” Aku berdehem sambil mengatur ekspresi wajahku.
“Keren ya?” Dia cengengesan.
“Apanya?”
“Aku,” ujarnya sambil tersenyum sok imut kepadaku.
“Najis!”
“Sakit hatiku, Di!” Dia mencebik kesal.
“Alay! El alay!”
Dia tertawa renyah. Aku meliriknya tidak suka sambil sesekali mengomel tidak jelas. Mungkin membuatku kesal adalah suatu kepuasan di matanya. Beberapa saat kemudian aku diam, Mikhael juga begitu. Tidak lama, tapi itu cukup membuat suasana sedikit aneh dan canggung.
![](https://img.wattpad.com/cover/287820487-288-k480307.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Tulang | Haechan
Novela JuvenilPun aku menemukanmu dalam kondisi retak dan membusuk. Namun, kau tetap hidup, menunggu hari berkabungmu sendiri. #Lee Haechan