Happy Reading !!!
***
“Ziva makan dulu, ya, Mama buatin rendang kesukaan Ziva, loh,” Cattleya membuka pintu kamar putrinya setelah lebih dulu mengetuk.
Dengan senyumnya yang lembut, Cattleya mendekat ke arah ranjang Ziva dengan nampan berisi sepiring nasi, lengkap dengan lauk dan juga sayuran. Di tambah jus jeruk dan air putih untuk membantu Ziva meminum obatnya.
Sudah tiga Ziva kembali dari rumah sakit, dan selama itu Ziva tidak pernah meninggalkan kamarnya. Membuat Cattleya rela mengantarkan makanan ke kamar putrinya yang hingga hari ini masih saja murung. Terlebih sekarang tidak ada Gilang di sampingnya, pria itu tidak bisa selalu menemani Ziva selayaknya di rumah sakit. Alasan yang membuat Ziva berat untuk pulang.
Bahkan, saking enggannya kembali ke rumah, perempuan itu meminta dokter untuk membiarkannya tetap di rumah sakit barang satu atau dua minggu lagi. Tapi tentu saja Dokter tidak bisa mengizinkan mengingat kondisi Ziva sudah lebih baik. Dan hal itu membuat Ziva cemberut seterusnya. Apalagi ketika Gilang pamit pulang ketika sudah mengantar Ziva ke rumah dan menemani perempuan itu hingga malam. Ziva murung. Hal yang kemudian membuat Cattleya sedih. Anaknya lebih memilih mengandalkan Gilang dibandingkan Cattleya yang merupakan ibunya. Tapi Cattleya tidak bisa berbuat apa-apa sebab sikap Ziva yang sekarang atas kesalahan Cattleya sendiri. Ia yang lebih dulu mengabaikan putrinya.
“Mama suapin, ya?” Cattleya kemudian mengambil duduk di sisi ranjang Ziva, bersiap menyuapi sang putri. Namun Ziva lebih dulu bersuara. Menolak suapannya.
“Aku makannya nanti aja sama Bang Gilang.”
Suara itu terdengar dingin, membuat Cattleya semakin merasa sedih. Tapi pantaskah? Cattleya tak lupa bahwa dua minggu lalu dirinya pun bersikap demikian pada anaknya. Bahkan Cattleya mendiamkan Ziva dengan begitu tega.
Mengabaikan ketika Ziva memohon pengampunan, mengacuhkannya ketika sang putri menyesali kesalahannya. Bahkan Cattleya tak peduli putrinya makan atau belum. Padahal saat itu dirinya tahu kondisi Ziva yang sedang berbadan dua.
Sekarang, mendapati sikap acuh anaknya, pantaskah Cattleya sakit hati? Sementara dengan tega ia telah menjadi penyebab bayi di dalam kandungan anaknya menyerah.
“Bang Gilang ‘kan kerja. Dia masih lama datangnya.”
Dua minggu pria itu tidak masuk kerja karena setelah keluar dari kurungan adiknya, Gilang lanjut menemani Ziva di rumah sakit. Cattleya yakin begitu banyak pekerjaan yang menunggu Gilang. Sementara jika Ziva memutuskan untuk menunggu pria itu Cattleya takut anaknya kembali sakit. Ada obat yang harus Ziva minum dan itu butuh makan lebih dulu.
“Makan sama Mama aja, ya, Zi?” bujuk Cattleya tak menyerah. Tapi Ziva tak sama sekali menyahuti. Perempuan itu justru mengambil ponsel yang tergeletak di samping tubuhnya. Beberapa detik Ziva memainkannya sampai kemudian benda itu Ziva letakkan di depan telinganya.
“Abang masih di mana?” tanyanya pada sosok di seberang. “Oh, udah sampai. Ya udah langsung masuk aja, ya,” tambahnya begitu mendapat jawaban dari seseorang yang dihubunginya. “Pesanan aku gak lupa ‘kan?” tanyanya lagi.
Cattleya hanya bisa mendengarkan, sambil menahan nyeri di dada akibat pengabaian sang putri yang seolah tengah membalas apa yang dilakukannya dua minggu lalu.
Diam-diam Cattleya menghapus air matanya yang lancang menetes, setelah itu berusaha untuk menampilkan senyum dan memilih menyimpan nampan yang dibawanya di atas nakas, kemudian bangkit dari duduknya.
“Bang Gilang datang?” hanya basa-basi, karena Cattleya jelas sudah tahu jawabannya dari obrolan singkat Ziva di telepon barusan. “Kalau gitu Mama tinggal, ya? Mau buatin minum buat Bang Gilang.”
Tidak ada jawaban. Ziva hanya memberi anggukan singkat tanpa sama sekali melirik ke arahnya. Membuat lagi dan lagi Cattleya bersedih hati. Tapi ia coba menerima sikap anaknya yang sedang merasa kecewa.
Merasa tidak ada lagi alasan untuk dirinya tetap tinggal, Cattleya mengayun langkah keluar dari kamar anaknya, bertepatan dengan kemunculan Gilang yang membawa cukup banyak bingkisan, yang Cattleya tebak sebagai pesanan Ziva, mengingat tadi ia sempat mendengar putrinya menanyakan pesanannya.
“Selamat siang, Tan,” Gilang menyapa ramah, yang ibu satu anak itu balas dengan senyum yang tak sampai ke mata. Dan Gilang berhasil di buat meringis, amat tahu kenapa Cattleya tidak bisa meloloskan senyum lebih indah. Wanita berusia awal empat puluh itu sedang bersedih hati karena sikap putrinya.
“Masuk gih, Ziva nolak makan sama Tante, padahal harus makan obat,” dan Gilang dapat jelas menangkap kesedihan ibu dari kekasihnya itu.
“Tadi pagi juga makannya cuma dikit. Katanya gak selera,” lanjut Cattleya seolah tengah mengadu. “Makanya tadi Tante buatin rendang kesukaannya. Siapa tahu Ziva makannya banyak,” tambahnya yang kali ini diiringi senyum pedih.
“Tante …?”
“Bilangin sama Ziva, mama-nya minta maaf,” nyatanya Cattleya tak bisa menahan semua itu, melihat sosok Gilang di hadapannya, Cattleya seakan diberi harapan, mengingat memang hanya pria itu yang belakangan selalu Ziva butuhkan.
Cattleya memutuskan untuk mengadu pada Gilang, berharap kekasih putrinya itu bisa membantunya.
Cattleya rindu putrinya. Ia sedih melihat Ziva terus-terusan mengabaikannya. Cattleya ingin meraih putrinya, memeluk buah hatinya itu seperti biasanya. Tapi semakin hari Cattleya merasa kehilangan anaknya. Dan itu membuatnya benar-benar merana.
“Mama salah, Mama minta maaf udah marah sama Ziva, Mama udah mengabaikan Ziva, hingga membuat Ziva kehilangan bayi kalian. Maafin Mama,” lanjutnya masih berdiri di depan Gilang dengan tatap seolah meminta di sampaikan. Padahal kenyataannya Ziva pun mendengar jelas apa yang ibunya bilang, mengingat jarak mereka tidak begitu jauh, dan Cattleya tidak berbicara secara bisik-bisik.
“Tante,” lagi, Gilang sebut nama itu. Namun Cattleya kembali melanjutkan kalimatnya.
“Hari itu Mama sama Papa memang kecewa, tapi kami tidak bermaksud membuat Ziva menderita. Papa sama Mama sayang Ziva. Maafin kita udah jadi orang tua yang buruk untuk Ziva. Maafin Mama sama Papa, Zi. Maaf.” Ucapnya semakin lirih. Dan Gilang melihat jelas air mata Cattleya mengalir deras membasahi pipi ibu satu anak itu.
Gilang di landa kebingungan sekarang. Ia tidak tahu apa yang akan dirinya katakan kepada Cattleya setelah kalimatnya yang sarat akan sebuah penyesalan itu. Gilang kasihan, tapi ia juga tidak bisa menjanjikan apa pun, terlebih ketika melirik ke dalam kamar Ziva, wanita itu langsung memalingkan wajahnya alih-alih menghampiri sang ibu untuk memberi pengampunan.
Gilang tahu Ziva masih merasa marah, tapi ia tidak menyangka kekasihnya itu akan begini keras pada ibunya. Gilang sedih, tapi ia juga tidak mungkin untuk memaksa Ziva melupakan semua yang terjadi. Kekasihnya itu sedang labil paska kehilangan bayinya, dan Gilang tidak mau membuat Ziva salah paham dengan bujukannya. Namun Gilang janji akan memberi pengertian pada kekasihnya itu. Semoga Ziva mau mendengarkannya.
***
See you next part!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Cinta Calon Ipar
Aktuelle LiteraturJatuh cinta memang hal biasa. Semua orang berhak merasakannya. Termasuk Gilang. Namun, satu yang membuat rasa itu salah. Hadir di waktu yang tidak tepat. Dan Gilang merutuki itu. Sialannya kesalahan itu tidak lantas usai di sana, sebab sosok yang Gi...