Bagian Tiga Puluh Tiga

2.1K 160 3
                                    

Happy Reading!!!

***

“Gue minta maaf, Bang,” mulai Galen begitu duduk di kursi yang ada di sisi ranjang Gilang, selepas kedua orang tuanya izin ke kantin untuk mengisi perut masing-masing.

Dua bulan telah berlalu, namun Gilang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari koma. Membuat tak hanya Ziva, karena nyatanya Galen pun merasakan kehancuran yang sama. Terlebih dirinya sendiri yang menyebabkan sang kakak berada dalam kondisi seperti ini, membuat rasa bersalah menghantui sepanjang malamnya. Membuatnya tertekan. Dan Galen benar-benar menyesal.

“Gue salah, Bang. Salah karena terlalu membesarkan ego. Salah karena telah mengedepankan emosi. Maafin gue,” kepalanya menunduk perlahan di iringi air mata penyesalan yang membuat isakannya terasa begitu menyakitkan.

Jauh sebelum hari ini Galen ingin mengutarakan penyesalannya, tapi selalu tidak memiliki kesempatan. Ziva kerap berada di sisi Gilang, dan orang tuanya pun bergantian menemani seolah enggan melewatkan perkembangan Gilang.

Galen tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk mengakui kesalahannya di depan semua orang. Bagaimanapun Galen tidak siap melihat kekecewaan kedua orang taunya. Galen tidak siap mendapatkan kemurkaan keluarganya.

Cukup Ziva. Itu pun Galen benar-benar merutukinya karena telah lancang menghina wanita itu murahan. Padahal Galen sendiri tahu bagaimana Ziva. Tidak seperti apa yang dirinya tuduhkan. Tapi karena cemburu ia tega menambah luka hati Ziva.

Berengsek memang.

Selama satu tahun menjadi sosok yang berusaha membahagiakan, pada akhirnya luka begitu dalam Galen goreskan. Karena keegoisannya, Galen berhasil menjadi si berengsek yang menyakiti perempuan tercintanya.

Sejak awal Ziva sudah berusaha memohon maaf, mengakui kesalahan dan melepaskannya dengan cara baik-baik. Tapi akibat kekeraskepalaan dan egonya yang tinggi Galen berkeras mempertahankan Ziva menjadi miliknya. Dan sekarang, nyatanya bukan memiliki yang Galen nikmati, melainkan kebencian Ziva yang kecewa atas perbuatan bodohnya.

Sekali lagi, Galen menyesali tindakannya.

“Bangun, Bang. Bangun untuk Ziva dan Papa, Mama,” karena Galen tidak sanggup melihat orang-orang tersayangnya bersedih. Terlebih Ziva yang dalam waktu dua bulan ini sudah berkali-kali tumbang dan berakhir menjadi pasien juga.

Galen tidak tega, meskipun hatinya teriris sembilu karena tahu bukan dirinya yang menjadi alasan Ziva bersedih hati. Tapi rasa-rasanya lebih baik melihat wanita itu bahagia dengan pria lain dari pada harus menyaksikan kehancurannya. Galen benar-benar tidak sanggup.

“Maafin gue yang udah gak tahu diri ini, Bang.” di saat Gilang mati-matian melindungi dan menjaganya sejak kecil, Galen malah justru mencelakai Gilang dengan tak berperasaannya. Benar-benar tidak tahu diri.

“Gue siap lo benci, Bang. Gue siap lo hajar. Tapi lo harus bangun dulu. Lo harus sembuh dulu untuk bisa melakukan semua itu. Gue janji gak akan melawan,” seperti apa yang kakaknya itu lakukan ketika dirinya menghajar habis-habisan begitu tahu pengkhianatan yang dilakukan Gilang.

“Gue mohon, Bang, bangun. Kasihan Mama, sedih lihat lo yang gak berdaya. Kasihan Papa yang harus sibuk dengan urusan kantor lo. Kasihan Ziva, Bang. Dia sekarat karena merindukan lo. Dia sama gak berdayanya seperti lo. Please, bangun. Jangan buat keputusan gue untuk merelakan dia sama lo sia-sia. Lo tahu sendiri bukan, amat sakit melepas seseorang yang kita cinta, begitu berat merelakan seseorang yang kita puja. Lo pernah merasakannya Bang, dan gue yakin lo masih ingat bagaimana rasanya. Jadi, please, bangun. Jangan siksa gue terlalu lama. Gue gak sekuat lo, gue gak setegar lo. Dan, gue gak bisa sesabar lo,” karena nyatanya jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, Galen enggan melepaskan Ziva untuk siapa pun. Tapi untuk Gilang, Galen akan berusaha ikhlas.

“Bangun, Bang, sebelum gue berubah pikiran,” tambahnya seraya memberikan remasan pelan di jemari Gilang yang sejak tadi dirinya pegang.

Dan betapa terkejutnya Galen ketika merasakan pergerakan jari jemari itu sendiri. Seakan Gilang tengah membalas remasannya, membuat kepala Galen yang semula menunduk segera terangkat demi memastikan apa yang dirinya rasakan, dan Galen sontak berteriak memanggil Gilang, mengejutkan seseorang yang tertidur di ruangan itu.

“Bang Gilang kenapa?” suara lemah seorang perempuan segera mengalihkan atensi Galen yang baru saja menekan bel di belakang pembaringan sang abang, sampai tak lama kemudian dokter masuk bersama satu orang suster. Di susul Asra dan Veronica di belakangnya dengan raut panik.

Galen memilih mengabaikan tanya Ziva dan kedua orang tuanya, karena penjelasan yang ia sampaikan kepada dokter sudah cukup untuk menjawab semua keingintahuaan mereka. Dan penjelasan dokter pun sudah dapat menjawab rasa penasaran mereka. Meskipun tidak begitu memuaskan. Tapi setidaknya mereka bisa bernapas lega mendengar keadaan Gilang yang telah jauh lebih baik. Mereka hanya tinggal menunggu kapan Gilang akan membuka mata. Dan untuk itu dokter menyarankan agar keluarga terus mengajak Gilang berbicara. Setidaknya untuk memberi rangsangan agar Gilang tidak terus menerus memilih untuk tertidur.

Setelah dokter dan perawat itu meninggalkan ruang perawatan Gilang, Asra dan Veronica berjalan mendekat dan berdiri tepat di sisi pembaringan Gilang. Pun dengan Ziva yang sudah turun dari ranjang pesakitannya dan mendorong tiang infusnya demi bisa mendekat pada sosok sang kekasih yang terlihat semakin tirus dari hari ke hari. Tak jauh berbeda dengan Ziva saat ini. Bahkan tubuh mungil perempuan itu terlihat begitu payah. Apalagi dengan wajah pucatnya yang tidak pernah lagi tersentuh make up, karena rasanya itu akan percuma sebab Ziva selalu memiliki kesempatan untuk menangisi Gilang.

Ini kali ke tiga Ziva jatuh sakit, dan karena perempuan itu menolak meninggalkan Gilang, jadilah kamar yang Gilang tempati di beri tambahan ranjang untuk perawatan Ziva.

Jangan kira Galen tak cemburu, karena sesungguhnya Galen ingin berteriak pada wanita itu. Meminta Ziva menghargai perasaannya yang telah berdarah-darah. Namun secepat mungkin Gilang sadar. Semua adalah kesalahannya. Semua ulahnya yang terlalu mengedepankan emosi. Membuat Galen tak hanya kehilangan Ziva dan cintanya, tapi juga sosok kakak yang sepanjang hidup menjadi pelindung dan keluarga yang menyayanginya.

Mungkin Galen masih memiliki hak untuk marah, mengingat Ziva masih menjadi tunangannya. Tapi itu tidak lantas membuat Galen melakukannya.

Sejak malam di mana Ziva menemuinya dan mengetahui dalang di balik kecelakaan yang Gilang alami, Galen tahu bahwa semua tidak akan sama lagi.

Rasa bersalah yang semula ada pada diri Ziva beralih menjadi milik Galen. Dan sejak hari itu Galen harus puas dengan hanya mendapatkan tatap kebencian dari perempuan itu. Galen patut bersyukur karena Ziva tidak melaporkannya mengenai kecelakaan itu, hingga hari ini ia masih berada di sisi keluarganya, melihat perkembangan kondisi Gilang, dan menemani wanita itu walau tidak sekali pun pernah ada obrolan. Tak apa, Galen tetap bersyukur masih dapat memandangi Ziva dari jarak sedekat ini. Begitu bersyukur karena Ziva tidak memintanya untuk pergi menjauh.

Begini saja sudah cukup untuk Galen sekarang.

Namun Galen tetap berharap kelak Ziva mau memaafkan segala kesalahannya. Dan Galen pun berharap sang kakak mau mengampuninya.

Semoga.

***

Penyesalan memang selalu berada di akhir 🙂

See you next partt!!!

Terjerat Cinta Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang