Bagian Tiga Puluh Empat

2.1K 171 6
                                    

Happy Reading!!!

***

Di tengah rasa sakit yang Gilang rasa ada tangis yang juga berhasil menyayat hatinya. Gilang tidak tahu dari mana tangis itu berasal, tapi suara itu amat Gilang kenal. Hanya saja Gilang tidak dapat menemukan sosoknya. Tempatnya begitu gelap. Tidak ada apa pun yang dapat Gilang lihat selain suara-suara di sekelilingnya. Tak hanya tangis tapi ada juga umpatan-umpatan sarat akan sebuah penyesalan yang masuk ke dalam indera pendengarannya.

Namun yang membuat Gilang tak kuasa adalah kalimat Galen yang di ucapkan dengan penuh kepasrahan. Sebuah kerelaan yang pasti begitu berat adiknya itu lakukan. Dan Gilang bisa merasakan kesedihan Galen tersebut. Hingga membuatnya mengepalkan tangan, demi menyalurkan rasa bersalahnya.

Keinginan Gilang adalah menarik Galen masuk ke dalam pelukannya, mengatakan bahwa seharusnya dirinya lah yang meminta maaf. Tapi tubuhnya tak bisa dirinya gerakkan. Di tambah dengan kegelapan yang membuatnya kesulitan dalam mengetahui keberadaan Galen sekarang. Namun, mendengar dari suaranya Gilang tahu bahwa sang adik berada dekat dengannya.

Tidak hanya suara Galen yang masuk ke dalam indera pendengarannya, karena suara yang begitu dirinya rindukan pun turut menambah kelam kegelapannya. Bahkan Gilang merasa tidak kuasa mendengar tangis kesedihan juga rintihan rindu yang nyatanya ia sendiri pun punya. Gilang ingin merengkuh tubuh mungil kesayangannya. Menenangkan Ziva dengan elusan lembut dan bisikannya. Tapi lagi dan lagi Gilang tidak bisa melakukan itu.

Suara Ziva dan Galen sama-sama dekat, tapi tak lantas bisa dirinya raih. Tubuhnya begitu sulit di gerakan dan matanya tak juga menemukan cahaya yang dirinya harapkan. Namun Gilang enggan menyerah. Ia ingin menemukan jalan yang akan mengantarnya pada suara tangis Ziva yang benar-benar membuat dadanya sesak, pun rintihan Galen yang membuat hatinya perih.

Gilang tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang jelas mendengar dari suaranya, Gilang yakin bahwa Ziva-nya tidak baik-baik saja, begitu pula dengan sang adik dan kedua orang tuanya. Suara mereka begitu menyayat hati. Dan, apa yang barusan dirinya dengar?

“Bangun, Bang. Please, bangun. Jangan tinggalin aku.”

Gilang menggelengkan kepala. Sama sekali ia tidak berniat meninggalkan Ziva meskipun Gilang tahu wanita itu adalah tunangan adiknya. Namun Gilang telah berjanji untuk memperjuangkan cinta dan kebahagiaannya. Dan Gilang yakin ia telah mengatakan itu pada Ziva.

Abang, Mama mohon, bangun, sayang. Tidur kamu sudah cukup panjang. Kembali, Nak. Jangan tinggalin Mama.”

Dan untuk suara selanjutnya, Gilang benar-benar tidak lagi mampu menahan air mata. Suara itu, suara yang juga dirinya rindukan, padahal tidak sama sekali Gilang merasa pernah jauh dengan sang ibu. Setiap hari mereka bertemu. Namun entah mengapa rindu itu ada, dan membuatnya sedih seketika.

Tapi ada satu kata yang tidak bisa Gilang pahami. Bangun. Rasa-rasanya ia tidak sedang tertidur meski sekelilingnya bermandikan kegelapan dan tubuhnya sulit digerakkan. Dan jika memang benar nyatanya ia tertidur, memangnya seberapa lama tidurnya hingga membuat Ziva dan ibunya sesedih itu?

Serius Bang, kalau lo gak mau bangun juga, jangan menyesal kalau gue benar-benar nikahin Ziva!”

Kalimat itu terdengar emosi, tapi Gilang tetap menangkap kesedihan di sana. Membuat air matanya lagi-lagi jatuh. Apalagi ketika tangis histeris terasa memekakkan telinga, disusul langkah kaki yang terdengar berlari mendekat ke arahnya dan suara-suara asing menyamarkan tangis Ziva, hingga kemudian tidak lagi ada suara apa pun yang dapat Gilang dengar. Sunyi benar-benar menemani, dan gelap masih setia mengelilingi, membuat kehampaan itu nyata Gilang rasakan.

Namun selanjutnya sesuatu seakan menggenggamnya, menyalurkan rasa hangat yang entah mengapa terasa mengisi seluruh kekosongannya. Dan tiba-tiba saja sebuah cahaya datang menghampirinya dengan perlahan, menyilaukan, membuat Gilang mau tak mau terpejam sebelum mengerjapkan matanya demi menyesuaikan cahaya yang masuk, sampai akhirnya hitam yang semula mengelilingi berganti dengan putih. Namun Gilang tetap saja tidak mengetahui di mana dirinya berada. Dan, demi mencari tahu tentang itu, Gilang arahkan bola matanya ke sekeliling hingga kemudian netranya menemukan sesosok cantik yang tertidur dengan posisi duduk, menjadikan lengannya sebagai bantalan. Pasti tidak nyaman. Pikir Gilang seraya pelan-pelan mengangkat tangan kirinya demi mengusap kepala Ziva. Tapi ia merasa payah, tangannya begitu lemas, bahkan untuk sekadar digerakkan.

“Zi …” pada akhirnya panggilan itu Gilang loloskan meskipun tak yakin suaranya keluar, mengingat tenggorokannya terasa begitu sakit dan kering. Namun siapa yang menyangka bahwa ternyata Ziva benar-benar mengangkat kepalanya. Tak langsung melirik ke arahnya memang, karena wanita itu lebih dulu menggisik matanya yang mungkin saja terasa perih. Membuat Gilang segera mencegah dengan kalimatnya, juga tangan yang bergerak meskipun tidak memberi reaksi banyak karena benar-benar begitu lemas. Tapi setidaknya suaranya yang terasa pelan dapat mengalihkan Ziva. Dan sontak mata itu membulat, di susul teriakan hebohnya memanggil nama-nama yang amat Gilang kenal.

Tidak lama setelahnya suasana sunyi yang semula Gilang rasa berubah ramai. Beberapa orang mendekat dan mengelilinginya. Berbagai ekspresi juga Gilang dapatkan, menjurus pada rasa senang dan haru. Tapi belum sempat Gilang menyapa, seorang pria tak di kenal datang menghampirinya, membuat keluarganya sontak mundur begitu pula dengan Ziva yang posisinya segera di gantikan dengan seorang perempuan asing yang terasa melepaskan sesuatu yang menempel padanya.

Berbagai pertanyaan diberikan oleh pria berjas putih itu, dan sebuah senyum ramah Gilang terima setelah pertanyaan itu dapat dirinya jawab semua, meskipun beberapa hanya ia respons dengan gelengan dan anggukan kecil.

Selanjutnya beberapa bagian tubuhnya terasa di tekan sambil melontarkan penjelasan yang sesungguhnya tidak sama sekali dapat Gilang cerna. Tanya tentang keberadaannya lah yang akhirnya Gilang loloskan, dan ketika kata rumah sakit di sebutkan, Gilang kembali melirik sekeliling demi memastikan.

“Kenapa saya ada di rumah sakit?”

“Anda mengalami kecelaan tiga bulan lalu,”

Gilang mengerutkan kening, berusaha mencari ingatan tentang kecelakaan yang di maksud, hingga tatapannya tertuju pada sang adik yang berada di belakang ibunya. Terlihat sendu dengan sorot bersalahnya. Dan di sana Gilang sadar bahwa kecelakaan yang dianggapnya mimpi ternyata memang benar-benar terjadi.

“Apa Anda mengingatnya?” tanya dokter itu lagi.

Gilang mengangguk seraya mengalihkan tatapannya pada sang dokter. Dan sebuah penjelasan kembali pria paruh baya itu berikan. Mengenai kondisinya. Kondisi kakinya yang ternyata tidak bisa di gerakan.

Panik. Tentu saja. Tapi Gilang berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak ingin membuat siapa pun yang ada di sana sedih dengan kondisinya, lebih tak ingin mendapati sorot bersalah sang adik yang memang Gilang ingat menjadi alasan dirinya mengalami kecelakaan. Tapi sungguh, tidak sedikit pun Gilang menyalahkan Galen untuk hal itu. Semua salahnya karena tidak bisa membawa mobil dengan benar sampai akhirnya ia kehilangan kendali dan berakhir kecelakaan.

“Tapi Anda tidak perlu khawatir, kondisi kaki Anda akan kembali seperti sediakala dengan rutin melakukan terapi. Cukup memakan waktu memang, tapi In Syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.”

Setelah mengucapkan itu, dokter beserta perawat pamit undur diri. Meninggalkan Gilang dan keluarganya yang sejak awal menyimak segala penjelasan yang diberikan.

Ziva menjadi orang pertama yang menghampiri, langsung memberinya pelukan dan menumpahkan tangisnya. Ucapan syukur berkali-kali wanita itu lantunkan, dan terima kasih ikut di panjatkan, membuat Gilang sedikit menundukkan kepalanya demi melihat sang kekasih. Inginnya ia membalas pelukan itu, inginnya Gilang membawa tangannya untuk mengelus kepala Ziva, tapi ia tidak bisa. Tangannya memang tidak ikut lumpuh, tapi karena tiga bulan tidak sama sekali di gerakkan membuat tangannya kaku dan lemas. Dan akhirnya Gilang hanya bisa mengandalkan suaranya untuk menenangkan sang kekasih, meskipun itu juga cukup sulit dirinya lakukan.

***

See you next part!!!

Terjerat Cinta Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang