Bagian Dua Puluh Delapan

2.1K 148 11
                                    

Happy Reading!!!

***

Tok … tok … tok.

“Zi, udah siap belum?”

Suara sang mama terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu. Membuat Ziva yang masih duduk di depan meja riasnya segera menyahut dan bergegas keluar dari kamar membawa serta tas dan heels-nya. Siap pergi ke kantor untuk menjalani aktivitasnya yang melelahkan. Namun tak bohong bahwa Ziva menikmati pekerjaannya. Walaupun tak jarang ia mengeluh juga.

“Bang Gilang udah datang, Ma?” karena biasanya memang begitu jika sang mama sudah memanggilnya. Tapi sekarang rupanya Ziva salah, karena Cattleya justru menggeleng.

“Galen yang datang.”

Dan jawaban itu berhasil membuat Ziva menghentikan langkahnya, menatap sang mama dengan sorot meminta kebenaran. Sialannya Cattleya memberinya sebuah anggukan yang mana artinya wanita kesayangannya itu tidak sedang berbohong. Dan kini Ziva resmi di buat lesu dengan pikiran penuh tertuju pada sosok yang sama sekali tidak Ziva harapkan kedatangannya. Galen. Apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan? Dan, apa yang laki-laki itu inginkan?

“Kamu belum menyelesaikan hubungan kamu sama Galen?” tebak Cattleya ikut menghentikan langkahnya seraya membalas tatap sang putri yang terdiam di tempatnya dengan sorot kosong yang cukup bisa Cattleya pahami. Terlebih ketika sebuah gelengan Ziva berikan. “Kenapa?”

“Galen menolak mengakhiri,” ringis Ziva ketika mengingat kembali kejadian semalam yang membuatnya di landa frustrasi.

“Tapi kamu sudah bicara ‘kan Zi?”

Kali ini Ziva mengangguk dan menceritakan sedikit mengenai pertemuannya dengan Galen semalam, terlebih tentang cincin yang Galen tolak dikembalikan. “Aku harus gimana, Ma?” lirih Ziva. “Aku cinta Bang Gilang. Aku mau Bang Gilang,” dan kali ini air mata itu menampakkan keberadaannya.

Ziva tak lagi malu mengakui perasaannya di depan sang mama karena nyatanya Cattleya pun sudah tahu mengenai semuanya. Dan sekarang Ziva hanya ingin berbagi kerumitan hubungannya pada wanita tercinta yang telah melahirkannya itu. Berharap akan mendapatkan solusi untuk sedikit meringankan bebannya.

“Kamu sudah bicara dengan Bang Gilang mengenai itu?”

Tentu saja, apa lagi semalam Gilang memang ada di tempat yang sama dengannya dan mendengar semua yang Galen katakan. Sayangnya apa yang Gilang jadikan solusi tidak sepenuhnya membuat Ziva lega, karena yang ada justru dirinya malah bertambah bingung.

Permintaan Gilang untuk dirinya tetap tenang tidak bisa Ziva lakukan. Terlebih sekarang, dengan kedatangan Galen membuat Ziva makin-makin bingung saja. Ziva tidak tahu apa yang akan dirinya katakan untuk memberi Galen penolakan, karena jujur saja Ziva tidak tega membuat pria itu terus-terusan kecewa. Tapi pergi bersama Galen sama saja dengan ia memberi harapan. Dan Ziva enggan menambah luka Galen karena sikapnya itu.

“Ma …” lirih Ziva dengan sorot meminta pertolongan. Namun Cattleya justru menggeleng dan membantu Ziva menghapus air matanya yang sempat menetes, setelah itu menarik Ziva menuruni undakan tangga, berjalan menuju ruang tamu dimana ternyata Gilang pun sudah ada di sana. Bergabung dengan Galen juga Cakra.

Di saat ketegangan tercipta di ruang tamu itu, Gilang masih menampilkan sikap tenangnya, amat berbanding terbalik dengan yang Galen tampilkan, dan Gilang malah justru tersenyum ketika menyadari kehadiran Ziva. Sementara Galen langsung memberinya tatapan tajam sarat akan ketidak sukaan. Dan itu membuat Ziva meringis sebelum memilih memalingkan muka pada sang ayah yang terlihat menaikan sebelah alis seraya memberi tanya lewat tatapan mata. Namun Ziva memilih tidak menanggapi, dan kembali mengalihkan tatap pada dua sosok pria beradik kakak di depannya, tanpa sama sekali ada kata yang berhasil dirinya lemparkan untuk sekadar menyapa basa-basi.

Ziva terlalu bingung dengan kondisi yang dihadapinya ini. Kekasih dan tunangan datang bersamaan, tidakkah itu menyebalkan?

“Mau berangkat sekarang, Zi?” Cakra yang meloloskan tanya, dan itu segera Ziva tanggapi dengan anggukan seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Memastikan bahwa dirinya masih memiliki waktu yang cukup untuk tiba di tempat kerja.

“Gak mau sarapan dulu?”

“Nggak deh, Pa. Aku sarapan di kantor aja. Udah siang soalnya, takutnya gak keburu.” Mengingat jalanan pasti padat.

Cakra hanya mengangguk seraya bangkit dari duduk dan pamit pada dua pria beradik kakak yang sedang duduk tegang layaknya menunggu keputusan sidang.

Jujur saja Cakra merasa sedikit geli sekaligus bangga pada sang putri yang ternyata begitu di damba dua sosok pria yang sialannya sedarah. Cakra ingin membantu Ziva menentukan pilihan, melihat sang putri terlihat kebingungan, tapi Cakra merasa tak seharusnya ia ikut campur. Itu urusan anak muda, dan Cakra ingin memberi anaknya kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan yang datang. Lagi pula hubungan rumit itu Ziva yang memilihnya sendiri. Jadi biarlah Ziva melanjutkannya hingga usai.

Sebagai orang tua tentu saja Cakra merasa tak tega. Ia kasihan melihat putrinya dilanda kebimbangan, tapi mau bagaimana lagi, Ziva memang harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilihnya. Cakra tidak akan ikut campur. Ziva sudah dewasa, Cakra yakin Ziva bisa menyelesaikan semuanya.

Setelah kedua orang tuanya pergi, Ziva menatap Gilang dan Galen bergantian. Sejujurnya Ziva tidak ingin berada di posisi ini. Tapi ternyata semesta ingin mengujinya dengan menghadapkannya pada pilihan. Sebenarnya ini tidak sulit, hanya saja Ziva tidak tega melakukannya. Namun mau bagaimana lagi, Ziva memang harus tetap melakukannya.

“Galen, maaf. Tapi aku harus pergi sama Bang Gilang.” Dan Ziva tahu bahwa itu sukses menambah luka Galen. Terlihat dari sorot matanya yang menyiratkan kekecewaan.

Jujur saja, Ziva tidak tega. Tapi Ziva sudah bertekad untuk tidak memberi Galen peluang. Ia tidak ingin memberi tunangannya itu harapan. Dan Ziva tidak bisa mengecewakan Galen lebih dari ini. Karena sejak dimana ia tahu perasaan Gilang, sejak itu pula Ziva menginginkan Gilang.

“Maaf,” ucapnya sekali lagi, lalu melingkarkan tangan di lengan Gilang yang sudah berdiri di depannya. Dan Ziva tidak lagi menoleh pada Galen. Membuat pria itu mengepalkan kedua tangan hingga buku-buku jarinya terlihat memutih, sementara wajahnya memerah dengan rahang mengeras. Siapa pun yang melihatnya akan tahu seberapa emosinya Galen sekarang. Dan sebagai pelampiasan Galen tak segan-segan menendang pintu rumah Ziva hingga salah satu engselnya terlepas. Namun Galen enggan peduli. Masa bodo dengan Cakra atau Cattleya yang tak suka dengan sikapnya. Toh emosinya pun hadir karena Ziva. Anak mereka.

Melangkah kasar menuju mobilnya, Galen melaju meninggalkan pekarangan rumah Ziva dengan emosi yang masih memuncak. Keinginannya sekarang adalah menyusul Gilang dan Ziva, memberi pelajaran pada dua sosok itu yang telah menyentil harga dirinya dengan begitu sialan. Sayangnya Galen tidak bisa, mengingat pagi ini ada meeting penting yang harus dirinya hadiri. Namun Galen janji bahwa dirinya akan memberi perhitungan pada sang kakak yang telah mengacaukan rencana masa depannya.

Galen janji akan memberi Gilang pelajaran yang tidak akan pernah bisa kakaknya itu lupakan. Tidak peduli statusnya sebagai saudara, Gilang telah tega mengkhianatinya. Gilang telah tega merebut Ziva yang menjadi miliknya. Maka Galen pun tidak akan segan untuk menghancurkan kakaknya.

“Gue gak akan biarin lo bahagia sama Ziva, Bang! Sampai kapan pun Ziva milik gue. Dan seperti yang lo bilang, lo gak akan mengalah untuk gue. Jangan lo pikir gue pun akan mengalah sama lo, Bang. Kita lihat siapa yang akhirnya akan menang,” ujarnya seraya mencengkeram erat kemudi. Matanya yang berkilat menambah kesan menakutkan pada sosok tampan Galen. Tapi sayangnya Ziva dan Gilang tidak dapat melihat itu, hingga mereka tidak tahu seberapa menyeramkannya Galen saat ini.

***

Kira-kira apa yg akan Galen lakukan pada Ziva dan Gilang?

Klik bintangnya jangan lupa, dan ramaikan Komentarnya.

See you next part!!!

Terjerat Cinta Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang