Happy Reading!!
***
“Aku tahu, kamu pasti datang,” ucap Ziva dengan senyum lega kala Galen mengambil duduk di kursi yang berada di depannya.
Tidak ada senyum balasan yang pria itu berikan, karena Galen justru meloloskan dengusan seraya membuang pandangan. Terlihat enggan bertatap muka dengan Ziva yang hingga hari ini bahkan masih menjadi tunangannya. Namun Ziva tidak mempermasalahkan itu. Ia cukup paham dengan sikap Galen sekarang, karena toh, ia pun pasti akan bersikap sama andai keadaannya di balik.
“Aku udah pesenin makanan kesukaan kamu. Mungkin sebentar lagi selesai,” kembali Ziva membuka suara seraya mengamati penampilan Galen yang cukup berantakan. Mungkin karena pria itu begitu sibuk dengan pekerjaannya, atau bisa juga karena masalah mereka belakangan ini. Yang jelas Ziva sukses di buat meringis dengan rasa bersalah yang kembali naik kepermukaan.
“Maaf,” cicitnya tiba-tiba saat tidak juga mendapati tanggapan apa-apa dari Galen. Kepala yang semula lurus menatap Galen yang berpaling, beralih menunduk. Gantian Galen yang menolehkan kepala menatap Ziva. Sorotnya tak terbaca begitu pula dengan ekspresinya.
Galen masih tetap bungkam meski waktu terus berlalu dan menit pertama hanya di isi dengan keheningan. Baik Ziva maupun Galen sama-sama tengah berperang dengan hati dan pikiran. Sampai akhirnya Ziva kembali mengangkat kepala setelah di rasa dirinya siap menyelesaikan semua permasalahan yang ada diantara mereka. Kali ini pandangan itu bertemu, mengunci satu sama lain untuk waktu yang cukup lama, hingga di menit selanjutnya Galen memutusnya lebih dulu, memilih menatap apa saja yang penting bukan Ziva. Sebab ternyata Ziva masih menjadi kelemahannya.
Memikirkan wanita itu telah mengkhianatinya membuat Galen benci, ia marah dan ingin sekali meluapkan emosi, tapi melihat sorot bersalah yang Ziva beri membuat Galen tidak bisa melakukan itu semua. Sebesar apa pun kecewa yang perempuan itu beri, ternyata cintanya masih lebih besar, hingga Galen tak mampu benar-benar benci. Namun ia juga enggan untuk bersikap lunak. Itulah kenapa Galen memilih memalingkan muka sambil mengeraskan hati agar tidak mudah luluh dengan tatap dan air mata Ziva, yang sialannya hingga saat ini masih begitu dirinya puja.
“Aku tahu maafku tidak mampu mengembalikan semuanya. Maafku tidak bisa mengobati luka yang sudah kamu terima. Maafku juga tidak bisa menghapus kecewa yang kamu rasa. Tapi, aku tetap ingin mengatakannya,” Ziva menjeda untuk sekadar menarik napas. “Maaf,” ucapnya begitu dalam dan sungguh-sungguh. Membuat Gilang yang semula ingin menulikan telinga, tak bisa mengabaikan kalimat pendek Ziva, hingga akhirnya tatap mereka kembali bertemu dan kembali saling mengunci.
“Aku salah karena mengkhianati kamu. Semakin salah karena kakak kandung kamu yang menjadi selingkuhanku. Maaf,” lagi Ziva mengatakannya, setelah itu menunduk demi menyembunyikan air matanya yang tak lagi bisa dirinya simpan. “Sedikit pun aku tidak pernah berniat melakukan itu—”
“Tapi kenyataannya kamu melakukannya ‘kan, Zi?” sela Galen.
Ziva tak menyangkal, ia justru mengangguk. “Aku jatuh cinta,” katanya dengan tatap kembali Ziva pertemukan dengan Galen. Dan sebuah luka langsung dapat Ziva lihat di manik pria itu. “Untuk pertama kalinya aku benar-benar jatuh cinta, Len,” sialannya Ziva malah memilih untuk menambah luka itu dengan membeberkan kenyataan yang ada.
“Untuk pertama kalinya aku merasakan jantungku berdebar dengan cara yang tak biasa. Awalnya aku pikir itu karena aku merasa segan karena dia menatapku dengan begitu dalam dan tajam. Tapi setelah aku pahami, ternyata itu kekaguman yang menjurus pada rasa suka. Aku tidak berniat memilikinya, pada awalnya. Tapi ketika malam dimana dia mengutarakan rasanya dalam keadaan mabuk, perasaanku membuncah. Aku bahagia di tengah rasa tak percaya. Sampai akhirnya aku memutuskan menemui dia, menanyakan kebenaran kalimat yang aku dengar malam itu. Dan aku sempat kecewa saat mendengar alasan mabuknya tidak sesuai dengan apa yang aku kira. Sampai akhirnya dia mengakui semuanya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Cinta Calon Ipar
General FictionJatuh cinta memang hal biasa. Semua orang berhak merasakannya. Termasuk Gilang. Namun, satu yang membuat rasa itu salah. Hadir di waktu yang tidak tepat. Dan Gilang merutuki itu. Sialannya kesalahan itu tidak lantas usai di sana, sebab sosok yang Gi...