Bagian Tiga Puluh Tujuh

1.7K 123 7
                                    

Happy Reading!!

***

“Dari mana aja sih, jam segini baru pulang?” tanya Veronica seraya membantu Galen menurunkan Gilang dari mobil dan berpindah ke kursi roda.

“Abis jalan-jalan, Ma, nyari udara segar. Abang bosen di rumah terus,” Gilang menjawab apa adanya.

“Ck, pasti ngerepotin Ziva, deh!” delik wanita paruh baya itu.

Gilang hanya menyengir menanggapi tebakan ibunya. Karena memang benar apa yang Veronica katakan. Sejak pagi Gilang telah merepotkan sang kekasih, meminta Ziva membawanya ke rumah pribadi mereka, kemudian keliling taman demi memupus kebosanan, lalu berakhir di toko kue demi membeli kudapan yang akan dirinya nikmati bersama dengan keluarganya. Menemani waktu santai mereka sambil mengobrol dan menonton televisi sebagai mana biasanya.

Namun, kali ini rumah orang tuanya semakin ramai sebab ternyata keluarga Ziva pun ada di sana. Berniat menjenguk Gilang setelah satu bulan lamanya Cakra dan Cattleya berada di luar kota dengan urusan pekerjaan.

“Gimana keadaan kamu sekarang, Lang?” Cakra yang bertanya ketika Gilang duduk bergabung di ruang tamu bersama ayah dan juga orang tua Ziva. Di ikuti Galen yang memang mendorong kursi rodanya, sementara Veronica dan Ziva langsung ke dapur untuk menyiapkan kudapan yang sempat di beli sebelum kemudian di hidangkan untuk mereka.

“Sudah lebih baik Om. Dokter bilang mudah-mudahan minggu depan Gilang sudah gak duduk di kursi loda lagi.”

Dan kabar itu tentu saja diamini semua orang yang ada di sana. Karena selama ini doa kesembuhan untuk Gilang pun sama-sama mereka panjatkan pada Sang Pencipta. Membuat kabar baik itu jelas saja membuat semua orang bahagia. Terlebih Galen, yang diam-diam masih selalu merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya. Apalagi dengan kenyataan Gilang tetap bungkam pada semua orang tentang penyebab kecelakaannya. Membuat Galen sadar bahwa memang sebaik itulah kakaknya.

Gilang selalu melindunginya. Sementara ia malah justru bersikap sebaliknya, mencelakai hanya karena tidak terima sang tunangan dimiliki Gilang. Padahal nyatanya Tuhan telah menyiapkan jodoh masing-masing untuk mereka. Namun memang beginilah, untuk bersama Tuhan tidak begitu saja menyatukannya, sebab selalu ada skenario yang perlu mereka lalui untuk meraih bahagia.

Pada intinya, meskipun banyak jalan menuju ke roma, selalu ada rintangan dan tantangan untuk kita sampai ditujuan. Begitu pula manusia yang ingin tiba di kebahagiaan. Tak mudah.

Tapi, ya sudah lah.

“Om, Tante, Gilang minta maaf. Karena keadaan Gilang, Ziva jadi lebih sering berada di sini dan selalu Gilang repotin,” ucap Gilang kembali membuka suara, setelah pembahasan mengenai kondisinya berakhir dengan sama-sama memberikan doa demi kesembuhannya.

“Gak apa-apa, Lang. Lagi pula Ziva yang mau ada di samping kamu,” itu memang benar. Tapi tetap saja Gilang merasa bersalah. Tak enak hati pada keluarga sang kekasih karena telah merepotkan anak mereka.

“Justru kami mau berterima kasih kepada keluarga di sini, karena mau menerima Ziva,” mengingat bagaimana hubungan anaknya dengan Galen yang cukup membuat Cakra sempat merasa cemas. Takut Ziva mendapatkan sikap tidak baik. Entah dari Galen yang masih merasa sakit hati akibat pengkhianatan Ziva, atau keluarganya yang mungkin saja hilang respek terhadap Ziva karena telah menyakiti salah satu anaknya. Juga membuat dua saudara kandung itu berselilih, meskipun sekarang memang sudah kembali membaik. Tapi tetap saja ‘kan?

Namun Cakra bersyukur karena apa yang di takutkannya tidak terjadi. Ziva masih di sayangi keluarga Gilang, meskipun kecanggungan masih terlihat diantara Ziva dan Galen. Tapi Cakra dan yang lainnya pun paham. Tidak mudah bersikap biasa-biasa saja di saat kehancuran pernah menjadi milik mereka.

“Istri saya justru senang dengan adanya Ziva, Cak,” kali ini Asra yang mengambil suara, seraya melirik pada sang istri tercinta yang duduk di sebelahnya. “Dia jadi berasa punya teman yang sefrekuensi, mengingat di rumah ini anaknya laki-laki semua,” tambahnya yang langsung diangguki Gilang serta Galen, karena itu memang benar.

Veronica yang biasa selalunya mengomel karena kesal dengan tingkah semua lelaki di rumahnya, kini lebih santai karena adanya Ziva yang bisa wanita paruh baya itu ajak mengobrol hal-hal yang para wanita gemari. Sebuah kebaikan untuk Galen, Asra juga Gilang sendiri. Meskipun nyatanya Gilang kadang kala juga merasa sebal pada ibunya yang lebih banyak memonopoli Ziva.

“Saya juga sepertinya harus produksi satu lagi deh, biar di rumah gak sepi-sepi amat,” kelakar Cakra sembari melirik istri di sampingnya dengan kerlingan jahil, yang sontak saja mendapatkan cubitan dari Cattleya. “Boleh, ya, Ma?” tanyanya pada sang istri, masih dengan nada menggoda.

No!” bukan Cattleya yang melontarkan penolakan itu, melainkan Ziva yang sejak tadi hanya duduk diam menikmati kudapan yang ada. “Jangan coba-coba, ya, Papa rayu-rayu mama buat kasih aku adik!” ancamnya dengan tatap tajam tertuju pada sang ayah. “Aku udah dewasa, Papa! Masa iya harus punya adik,” tambahnya mendengus sebal, seraya memutar bola mata.

“Ya, gak apa-apa dong, Zi. Justru bagus, kamu jadi bisa bantu Mama sama Papa urus adik kamu.”

“Aku tetap gak mau punya adik!” ujarnya tegas, seraya memalingkan wajah sarat akan merajuk. Membuat semua orang yang ada di sana terkekeh geli melihat tingkah Ziva yang benar-benar kekanakan. Bahkan Gilang begitu gatal ingin mencubit kekasihnya itu, sayang saja posisinya terlalu jauh, membuatnya hanya bisa meremas jemari tangan dan berjanji akan merealisasikannya nanti, ketika mereka sedang berdua.

Beda hal dengan Galen, meski ikut geli dengan tingkah merajuk wanita berusia dua puluh lima tahun itu, nyatanya ada perih yang terasa mengingat Ziva bukan lagi miliknya, padahal hati masih begitu mendamba sosoknya.

Namun sungguh, Galen tidak menyesal telah melepaskan tunangannya kepada Gilang, karena ternyata ada lega dan juga bahagia di sudut hatinya yang terdalam melihat wanita itu lebih hidup bersanding dengan Gilang. Jauh berbeda ketika dengannya.

Saat bersamanya, Ziva tampil dengan sikap dewasanya yang lembut dan ramah. Tapi kini berbagai ekspresi tidak ragu wanita itu tampilkan. Tak hanya senyum ramah yang memikat, tapi juga tingkah kekanakannya pun ikut wanita itu perlihatkan tanpa sama sekali merasa malu atau takut kekasihnya ilfil. Membuat Galen tahu bahwa keputusannya melepaskan Ziva untuk sang kakak sudah tepat. Karena ternyata memang bersama Gilang lah Ziva bisa menjadi dirinya sendiri. Menyesakkan memang, tapi Galen yakin ia bisa menyembuhkan patah hati ini dengan seiring berjalannya waktu.

Mungkin memang tidak semudah yang dirinya inginkan, tapi Galen berharap tidak sesulit yang dibayangkan. Dan semoga saja kelak ia akan menemukan wanita yang tepat seperti sang kakak. Yang akan mencintainya di segala keadaan. Baik senang atau pun susah.

Ah, tapi rasanya Galen tak sabar. Ia ingin sekarang.

Patah hati nyatanya tidak membuat Galen kehilangan mimpi pernikahan. Yang ada Galen malah semakin tak sabar.

Andai mendapatkan pasangan semudah memetik buah di kebun sendiri, Galen tidak perlu memanjat dinding pagar tetangga dulu. Sayangnya pasangan memang sama sulitnya ketika berusaha mencoba mencuri mangga tetangga yang pemiliknya begitu pelit dan kikir.

Ck, apa hubungannya?

Ah, sudahlah, lupakan saja.

***

See you next part!!!

Terjerat Cinta Calon IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang