Bab 5: Siapa Caca?

140 11 3
                                    

Sesampai nya di rumah, aku melihat Pak Siagian yang sedang menyabuti rumput di pekarangan. Dengan sigap, aku langsung menghampiri Pak Siagian dan menyalam tangan nya yang sedikit kotor karena tanah. Tapi itu tidak masalah.

"Hei, gimana sidang nya? Lancar?" Tanya Pak Siagian antusias.

"Puji Tuhan lancar, Pak. Maaf Pak kami tidak ada bawain makanan, karena kami kira Bapak lama lagi pulang nya." Kata ku tidak enakan.

"Dih, sok sok an bawain makanan. Kayak lu yang bayar aja." Sastra nyerocos dan langsung masuk ke dalam rumah.

Aku langsung melototi Sastra dan pamit kepada Pak Siagian untuk meninggalkan nya di halaman.

"Lo ga ada sopan santun nya ya di depan orang tua? Lo terserah mau ngatain gue kayak gimana asalkan jangan ngatain gue di depan orang tua!" Aku mendobrak pintu Sastra dan meneriaki nya.

"Lo ga ngerti apa apa. Lo yatim. Lo ga tau seberapa annoying nya punya orang tua." Jawab Sastra seenak jidat sambil memandang handphone nya.

Aku terdiam. Setetes air mata meluncur dari bola mata, menuju ujung mata, dan mendarat di pipi ku. Aku tidak menyangka Sastra akan sejahat ini kepada ku. Andai saja aku ada tempat tinggal, mungkin sudah aku tinggalkan tempat ini. Ia memperlakukan ku tak lebih seperti sampah. Aku pergi meninggalkan Sastra dan bergerak menuju halaman belakang.
Aku sadar, Sastra terkejut bahwa aku yang biasa nya membalas cacian nya, sekarang malah diam dan pergi. Tetapi, Sastra justru tidak mengejar aku untuk berusaha memperbaiki keadaan. Aku tidak akan memaafkan nya dalam masalah ini!

Hari semakin gelap. Tetapi air mata ku tak kunjung kering. Aku duduk termangu memandangi arang arang yang biasa digunakan untuk memanggang dan melihat nyamuk nyamuk berterbangan. Sungguh, obat yang terbaik dalam melupakan masalah adalah tidur. Entah bagaimana, pandanganku memburam lalu menggelap.

Tak sadar, aku terbangun di suatu ruangan bercat putih dengan seragam berwarna hijau yang tergantung. Pasti ini kamar Sastra.
Aku melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 23.00. Udara AC yang sejuk membuat aku tertidur lelap.
Kenapa aku bisa disini? Dimana Sastra?
Aku bertanya tanya akan hal itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan mendapati Sastra tengah meringkuk kedinginan dan bentol bentol merah di betisnya akibat digigiti nyamuk.

"Ya Tuhan. Badan aja kekar, tapi masih digigitin nyamuk." Gumam ku.

Ingin sekali aku mengambil selimut untuk menutupi tubuh Sastra. Tetapi, perlakuan kasarnya tadi membuat ku ingin sekali memberi nya pelajaran. Aku masuk ke kamar Sastra dan kembali untuk mencoba tidur.

Hasilnya nihil. Aku tetap tak bisa tidur. Aku melihat dinding kamar Sastra yang dipenuhi dengan medali dan yang paling mengejutkan ku, ia berfoto dengan seragam PASKIBRAKA nya. Dia dari dulu kaku dan tidak pernah tersenyum di foto nya. Bahkan sampai sekarang pun begitu. Seperti ada jutaan besi di bibirnya sehingga membuatnya berat untuk tersenyum.

Sastra's POV

Rasanya aku ingin sekali tertawa saat melihat Monra memakan sushi. Ia dengan sabar menunggu kereta sushi lewat, tetapi, karena kemampuan nya memakai sumpit yang payah, ia jadi tidak bisa memakan sushi yang dia ingini. Monra terus terusan mengomel. Tapi aku tau, ia sesungguhnya tidak marah. Aku jadi penasaran, bagaimana Monra jika benar benar marah? Apakah ia akan berubah menjadi babi? Atau menjadi serigala?

Sesampai nya di rumah, Monra menghampiri dengan merasa berdosa tidak dapat membeli makanan. Jujur, aku merasa kepelitan ku ter ekspos di depan Papa. Karena Papa sesungguhnya tau, Monra tidak dapat membeli makanan tersebut. Secara, ia belum memiliki gaji. Jika aku tidak membeli makanan untuk Papa, pastilah aku yang dijadikan tumbal.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang