Bab 19: Kiss

107 8 3
                                    

Aku menjentik-jentikkan jemariku mengikuti irama lagu di radio. Tak sesekali, aku melirik ke arah jam tanganku untuk melihat dan memburu waktu. Aku melihat Monra dengan tatapan sendu di matanya, diikuti telapak tangannya yang berpangku diatas lututnya.
Setiap kali aku menatapi Monra, terkadang terbayang di benak ku tentang bagaimana wajahnya 10, 20, atau 30 tahun kedepan, memeluk tubuhnya yang ringkih di makan usia, dan rambutnya yang lebat kian memutih.

Aku mencintai Monra. Bukan karena ia yang mencintai aku lebih dulu. Tetapi, cinta itu butuh waktu. Kurasa, ini sudah waktunya bagiku untuk mencintainya. Aku bahkan sudah tidak peduli jika anak ku akan bodoh jika mewarisi otaknya.

"Lampu ijo, Sas!" Tegur Monra yang memergoki aku yang memandanginya sedari tadi.

Aku mendekatkan wajahku 5cm kearahnya. Alih-alih memegang kendali mobil, aku memilih untuk memegang sisi kiri dan kanan dari rahangnya. Perlahan aku belai, lalu bibirku ingin sekali membelai bibirnya. Maka aku lakukan. Aku menemukan kehangatan dari bibirnya, detak jantung kami yang berdetak se-iya se-kata, dan riuhnya bunyi klakson kendaraan yang memberontak karena mobilku tidak bergerak.

Aku melepas ciuman itu dan aku lihat Monra menatap bola mataku untuk 3 detik. Lalu, ia memalingkan wajahnya diikuti telinganya yang memerah. Begitupula aku. Aku tak menyangka akan melalukan hal sejenis ini di persimpangan jalan.

Monra dan aku menahan hening di dalam mobil tanpa berniat untuk memecahkan keheningan itu sedikitpun. Bahkan pada saat tiba di rumah, ia tak mengucapkan sepatah katapun kepadaku.

[Monra Damanik]

Sudah 5 menit aku duduk di ubin kamar mandi dengan tatapan kosong. Siap siap saja aku akan dipandang murahan karena tidak menolak ciuman Sastra waktu di jalan. Aku menghela napas berat sambil mengacak-acak rambutku. Bagaimana aku bisa memandang Sastra lagi setelah ini? Harusnya aku mendorongnya dan jual mahal saja seperti yang dilakukan orang pada umumnya.

"Gue mau nangis!" Gumamku tanpa sadar.

Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi diketuk tiga kali. Aku langsung berdiri dan membuka pintu kamar mandi.

"Lu ngapain?" Tanya Sastra setengah tertawa.

"Eh... gapapa! Gue tadi... check sesuatu. Iya! Di jadwalnya gue mens hari ini," karangku tanpa memandang wajah Sastra sedikitpun.

"Oh iya? Yasudah, pake aja dulu kamar mandi nya. Gue bisa nunggu," jawab Sastra mendadak jantan layaknya gentleman.

"Ga usah, Sas. U-udah kelar," kata ku.

Sastra hanya mengangguk perlahan tanda mengerti. Kemudian, aku pergi meninggalkan kamar mandi dan bergerak menuju sofa ruang tengah. Tak henti-hentinya aku menyentuh bibirku sembari mengingat-ingat kejadian tadi. Aku merasa murahan. Bagaimana tidak? Sastra masih bisa bertegur sapa dengan aku setelah apa yang terjadi tadi. Sementara aku? Aku hanya diam membatu tak berkutik saat di depan nya. Mungkin saja ciuman itu tidak berarti apa-apa baginya?

Sastra keluar dari kamar mandi dengan celana boxer beserta handuk yang tergantung di lehernya. Beberapa tetesan air belum sepenuhnya kering dibagian perutnya. Sial! Ia makin semena-mena kepadaku. Biasanya, ia tidak mau bertelanjang dada saat dihadapanku.

"The touch of your hand says you'll catch me whenever i fall. You say it best, when you say nothing at all," senandung Sastra sambil bergerak memasang seragamnya di hadapanku.

"Ini kancingnya lepas 1 loh," kata Sastra.

"Oh iya bentar gue ambilin peniti," jawabku. Dengan sigap, aku langsung mengambilkan peniti dan memberikannya kepada Sastra.

Sastra memandangi tanganku yang menyodorkan peniti ke hadapannya.

"Terus?" Tanya Sastra.

"Ya terus?" Jawabku kembali bertanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang