Bab 18: Kesempatan Untuk Caca

114 7 3
                                    

Sebuah kepalan tangan mendarat ke pipi Sastra dengan sempurna. Sastra yang memiliki tubuh kekar tak kuasa menerima pukulan dari Bang Pedro. Tubuhku seketika lemas. Aku menutupi mulutku yang menganga dengan telapak tanganku. Semestinya, aku hadir disana untuk melerai mereka. Tapi apalah daya, aku rasa aku terlalu kikuk untuk merespon hal itu.

"Lo kepengen nyokap lo cepetan mati hah?" Teriak Bang Pedro sembari memukuli Sastra bertubi-tubi diikuti deraian air mata yang keluar dari mata nya.

Teman Pak Siagian yang kala itu sedang asyik-asyiknya menyantap makanan, terpaksa harus melerai mereka berdua. Tanpa menanyakan alasan kegaduhan ini, Sastra yang babak belur di boyong ke kamar nya. Aku langsung mengambil handuk kecil dan air es untuk mengompres luka Sastra.

"Permisi, Neng. Bapak kedepan ngecek keadaan ya. Kalian berdua ditinggalin aman?" Tanya Pak Witan dengan wajah lugu nya.

"Aman, Pak. Makasih ya, Pak," jawabku tulus.

Aku membenamkan kepala ku di atas dada Sastra. Aku mencium bau alkohol yang cukup tajam dari tubuhnya. Aku menghela napas berat.

"Kamu pasti ga sengaja keceplos kan rahasia kita!" Kata ku emosi bercampurkan sedih.

"Makanya, Sas! Lo minum Ale-Ale aja muntah, boro-boro mau minum alkohol! Akibat sok mantep ya gini,"

Sastra tak menggubris ucapanku. Ia terkulai lemas sambil mendengkur dan sedikit meracau tentang hal-hal yang tak bisa dipahami oleh manusia. Aku mengompres luka di seisi wajah Sastra dengan hati-hati. Setelahnya, aku mengganti baju atasan Sastra dengan kaos oblong dari lemari kayu nya.

Aku merebahkan tubuhku tepat di sebelah Sastra yang sekarang sedang membelakangi aku. Aku melukiskan bentuk hati menggunakan jari telunjukku di pundaknya. Waktu kami hampir tiba. Untuk sesaat dalam hidupku, aku merasa bahwa kami tidak dipisahkan oleh kematian inang. Aku merasa bahwa kami akan dipisahkan oleh tangan manusia.

Sastra memutar tubuhnya ke arahku. Aku menatapi wajah indah kepunyaan nya itu. Tanpa kusadari, sebuah bola kristal menggelinding dari pelupuk mata ku dan membasahi pipiku. Mungkin bagi Sastra aku bagaikan debu yang mengganggu hidupnya. Tetapi bagiku, Sastra merupakan bagian terbaik dalam hidupku. Sedikit egois, tapi aku tak mau kehilangan Sastra. Bahkan disaat dunia kehilangan ibunya, aku masih ingin memiliki Sastra selamanya.

Sontak, Sastra menarik lenganku ke dekapan nya. Derai tangis ku sontak berhenti. Ia memeluk tubuhku erat dengan mata yang masih tertutup sempurna.

"Makasih, Mon. Jangan pergi, ya?" Gumam Sastra bagaikan meracau.

Aku membulatkan mata ku tanda tak percaya. Kata-kata ini tak pernah kudengar dari bibir Sastra sebelumnya. Kemudian, sebuah kecupan mendarat di pelipisku. Jantungku berdegup sangat kencang sampai membuat aku kehilangan separuh napasku.

***
06.00 WIB

Ayam berkokok untuk pertama kali nya pagi ini. Aku membuka mataku perlahan-lahan dan berusaha memeluk tubuh Sastra yang sempat kumiliki semalam. Tetapi, hasilnya nihil. Sastra sudah tidak ada di sebelahku lagi.

Seperti terbangun dari mimpi buruk, aku beranjak dari tempat tidur dan keluar untuk mencari Sastra. Aku menemukan Sastra di keheningan pagi ini. Tapi ia tidak sendiri, ia duduk bersama-sama dengan Bang Pedro di ruang tamu.

"Sini, Mon!" Suruh Bang Pedro sambil menekan kedua lututnya.

Aku menggaruk-garuk kepala ku. Dapat aku pastikan, aku menunjukkan wajah linglungku di hadapan mereka berdua.

"Gue benci ribut pagi-pagi, tapi kalian berdua bajingan!" Bentak Bang Pedro setengah berbisik. Ia takut inang akan terbangun mendengar suaranya.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang