Bab 6: Poor Monra

139 13 3
                                    

Seperti biasa nya, pukul 06.30 aku sudah tiba di sekolah. Hari ini adalah hari yang sangat aku takutkan. Benar saja, hari ini adalah hari kelulusan. Aku takut, bila saja hanya namaku yang tidak terpampang di papan pengumuman sekolah. Aku duduk di teras kelas menunggu murid lainnya datang.

Tepat pukul 09.00, pengumuman sudah ditempelkan. Dengan gugup dan tangan ku yang keringatan, aku melihat papan pengumuman. Betapa terkejutnya aku, dengan nilai ku yang tidak memenuhi standar, aku bisa lulus. Aku kira Pak Siagian tidak akan memenuhi janji nya. Ternyata, Pak Siagian adalah yang berperan besar dalam kelulusan ku.

"AKKKKKK." Teriak ku sambil memeluk Rere.

"Mon, gue udah bawa pilox nih. Si Andra sama Mardi juga udah bawa banyak banget serbuk buat kita colour run. LO WAJIB BANGET IKUT." Pinta Rere antusias.

"IYA IYA IYA. GUE IKUT." Aku menuruti perkataan Rere dan kami bergegas menuju parkiran.

Teman sekelas kami pun setuju ingin melakukan kegiatan coret coret seragam. Andra mengocok piloks di tangan nya. Baru saja ia ingin menyemprotkan nya di belakang seragamku, tiba tiba ada yang menarik tanganku lalu membawa ku pergi. Benar saja, Sastrawan Nyinyir ini turut mencampuri kehidupan ku terus menerus. Sengaja tadi pagi aku berangkat sangat pagi supaya aku tidak bertemu dia. Tapi tetap saja ia mengusik kehidupan ku.

"CIEEE LAIN NIYE YANG BINI TENTARA. PIWITT." Sorak Mardi

"Siap salah, Komandan." Kata Andra sambil menghormat lalu tertawa.

Sastra tak menghiraukan mereka dan menarik tangan ku ke masuk ke dalam mobil hijau nya.

"Lo kenapa si tarik tarik gue?" Teriak ku emosi.

"Seragam sekolah tu disimpen. Siapa tau anak lo mau pake atau ada kebutuhan yang lain. Bukan nya di coret coret. Dasar cabe cabe an." Cibir Sastra seenak jidat.

"HEH! ENAK AJA LO BILANG GUE CABE CABEAN. ELU TU! BUJANG LAPUK!" Balas ku tak kalah pedas.

"Lo emang nya mau punya anak sama gue?" Kata ku berusaha mengganggu Sastra.

"NAJIS! Entar anak gue bego lagi nikah sama cewe bego. Lo ga tau ya? Kepintaran itu menurun dari ibu. Ibu nya aja idiot begini, anak gue mau jadi apa?"

"APA LO BILANG? IDIOT? DASAR LO BUJANG LAPUK!" Jawab ku tak kalah pedas.

Sastra meremas rambut nya dan menghela napas berat tanda ia mengalah. Aku memasang senyum kemenangan, bisa mengalahkan Sastra di argumen hari ini.

"Monra Damanik yang baik, ramah, dan tidak cabe cabe an, mohon kerjasama anda hari ini. Kita hari ini mau cari baju pengantin sekaligus, sore nya kita foto prewedding. Hari ini gue mohon tingkah lo jangan kayak barongsai, ya." Perintah Sastra dengan penekanan yang memohon tetapi dibumbui dengan emosi yang ia coba tahan.

"HAH? KOK CEPET BANGET?" Tanya ku keheranan.

"Hari minggu depan kita udah nikah. Gedung sama catering kebetulan punya Kak Alina, istri Bang Pedro. Jadi kita bisa bebas pake sepuasnya." Sastra menjelaskan sambil mengendarai mobilnya.

Aku hanya meng-oh-kan saja perkataan Sastra.

"Tapi gue mohon sama lo, tolong jaga sikap di depan Kak Alina. She's a perfectionist. And the suprising point is, dia gasuka sama lo." Ungkap Sastra.

Aku terdiam. Aku tak berani menanyakan mengapa Kak Alina tidak menyukai aku. Karena, sadar diri saja aku 'spek pembantu' masuk ke keluarga Batak yang mapan ini. Apalagi Kak Alina memiliki gedung dan usaha catering. Pasti kedua orang tua nya adalah orang berada. Fakta yang menyedihkan, tetapi harus aku terima.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang