Bab 9: Married But It's Not The Happily Ever After

248 14 0
                                    

Aku gugup bukan kepalang. Tangan ku bergetar hebat diikuti sekujur tubuhku juga begitu. Aku duduk termangu melihat pantulan diriku di kaca. Cantik. Aku tidak pernah melihat diriku secantik ini.

"Udah siap, Mon?" Tanya Pak Siagian yang tiba tiba menghampiriku.

"Iii-iya, Pak." Jawabku grogi.

Tiba tiba, Pak Siagian memberikan ku tatapan menginterogasi. Ia menyadari tangan ku yang bergetar hebat. Pak Siagian benar benar sudah sangat berpengalaman dalam menyelidiki siswa.

"Kok gemetaran, Mon? Apa yang ditakutkan?" Tanya Pak Siagian.

"Bukan apa apa, Pak. Dari dulu memang kalau mau menghadapi sesuatu, pasti saya gemetaran." Jawabku.

"Takut bikin kesalahan? Terus jadi nya Sastra marah?" Kata Pak Siagian seakan akan bisa menebak isi kepala ku.

Aku terdiam. Aku tidak berani mengatakan hal buruk tentang Sastra kepada siapapun. Baik itu musuhnya, teman nya, bahkan ayahnya yang jelas jelas mengetahui sifat anaknya.

"Monra.. kamu ga usah khawatir. Kamu itu anak yang cerdas. Kalau ada kesalahan, ga mungkin kamu ga bisa perbaikin nya."

"Saya tau bahwa kamu sudah tidak punya orang tua lagi. Mungkin ini jalan nya Tuhan. Liat toh? Sekarang, bapak sudah jadi papa kamu sekarang. Inti nya, jangan takut takut lagi ya." Kata Pak Siagian menasehati ku.

Rasa nya aku ingin menangis saat itu juga. Aku tidak pernah mendengar perkataan yang sangat menguatkan aku. Pak Siagian padahal tau aku anak yang sangat bodoh, tapi, ia tetap mengatakan bahwa aku anak yang cerdas. Bangga sekali.

"Terima kasih, Pak." Jawab ku sambil menangis.

"Kok Bapak sih? Kan udah jadi mertua. Panggil Amang aja." Kata Pak Siagian.

*Amang= Bapak mertua

Tepat setelah itu, mobil pengantin menjemput. Dengan gugup, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil. Mobil bergerak dengan kecepatan sedang, hingga tibalah kami di gereja.
Aku memegang bunga berwarna putih melangkahkan kaki menuju ke altar diiringi dengan pengiring pengantin dengan alunan lagu BejanaMu.
Di seberang sana, Sastra telah menunggu. Menatapku dengan tatapan dingin. Aku tak menghiraukan nya, aku hanya fokus berjalan ke depan.
Hingga tibalah aku di altar, dihadapan semua orang. 

"Saya mengambil engkau menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." Ucapku mengucap sumpah pernikahan yang diikuti oleh Sastra mengucapkan sumpah yang sama.

Setelah itu, kami memasang cincin satu sama lain. Seharusnya, suami sudah diperbolehkan mencium kening istri, tetapi, Sastra memilih tidak melakukan nya. Aku juga tidak mau keningku bau mulutnya.
Kembali ke tadi, aku seperti membohongi Tuhan dengan pernikahan belaka ini. Sumpah yang di ucap sangat sakral, yang berjanji tidak akan berpisah. Sementara kami dalam hitungan bulan akan berpisah.

Setelah acara pemberkatan berakhir, kami langsung menuju gedung untuk melaksanakan pesta adat dan pedang pora. Perlahan lahan, aku mulai mengerti proses proses nya. Mau gimana lagi? Jika aku tidak tau, mungkin aku akan dikira orang terbodoh sedunia.

Sebelum kami masuk ke dalam gedung, seisi ruangan sudah heboh dengan dentuman drum oleh para teman teman Sastra, yakni para pasukan. Kemudian, kami masuk disambut dengan pedang di atas kepala kami.

"Lo jalan pelan pelan, Sas. Keinjek gaun gue, entar gue yang malu." Kata ku dengan mulut tertutup.

"Lo gandeng gue jangan erat banget, Mon. Gue keringetan." Jawabnya lagi.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang