Bab 16: Confession

119 7 2
                                    

Nanar mata ku menatap seisi rumah asrama yang aku tempati ini dengan tatapan kosong. Jam dinding yang posisi nya berseberangan dengan tatapan mataku mengarahkan jarum pendek dan jarum panjang nya ke angka 12. Aku menghela nafas ku yang berat dan sempat tersendat dalam beberapa waktu lalu. Sudah satu jam kepala Sastra menimpa paha ku, tetapi tak sedikitpun aku merasa keberatan dengan kepala nya. Bahkan helaian rambutnya yang tajam tak lagi menusuk di kulitku.

Tanpa sadar, aku membelai rambutnya yang tajam itu dengan telapak tanganku. Tak sesekali, rambutnya mengisi jarak antara jari jemari ku. Aneh, biasanya ia selalu menggunakan pomade untuk merapikan rambutnya dan membuat tangan siapapun membelai kepala nya akan lengket. Tetapi kali ini tidak.
Aku mulai meneliti wajah Sastra yang tengah tak berdaya di pangkuan ku. Kelopak mata nya, hidung nya yang mancung bak perosotan, dan bibir nya yang padat bagaikan apel itu kurasa mampu membuai banyak wanita dengan sekali kecupan.

Aku mendaratkan bibirku ke bibir Sastra yang terlihat pasrah. Tak pula aku hitung berapa lama bibirku berada disana. Aku tersadar bahwa tindakan ku ini mulai di luar logika. Aku yang tak pernah berpacaran selama hidupku ini tiba-tiba mendapat pengajaran mengenai mencium laki-laki. Parahnya lagi, ini bukan laki-laki sebaya ku. Melainkan, dia adalah laki laki yang usia nya hampir 10 tahun lebih tua daripada aku.
Tanpa sadar, pandangan ku mulai menggelap diikuti tengkuk ku yang kian melemas. Rasa kantuk tak dapat kutahan lagi. Aku membiarkan kepala ku bertumpu diatas sofa demi memuaskan rasa kantuk ku itu.

[Sastra]
Aku terbelalak melihat apa yang menganggu pandangan nya saat ini. Tak lain dan tak bukan, Monra dengan rambutnya yang terjuntai dan tak terikat itu membuat sekujur pipi nya gatal. Dengan terkejut, aku memperbaiki posisiku yang semula berada di pangkuan Monra menjadi berada di pinggir sofa.
Diikuti nyawa yang masih setengah terkumpul, aku menatap kearah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Aku langsung berlari ke kamar mandi dan membasuh tubuhku dengan air, berharap deburan air dapat menyadarkan nyawaku yang masih tertinggal di pangkuan Monra yang nyaris membuat ku tak terbangun. Entah mantra apa yang ia taburkan sdi paha nya sampai-sampai membuat tidurku yang semula terjaga mendadak nyenyak seperti ayam mati.
Aku menyemprotkan air ke bagian wajahku dengan kasar, pertanda usahaku untuk menyingkirkan pikiran kotor di kepala ku ini.

Dalam hitungan 5 menit, aku sudah berpakaian seragam lengkap dan siap untuk pergi. Baru saja aku hendak pergi meninggalkan rumah, aku berpapasan dengan Monra yang tak kunjung merubah posisi nya. Mungkin karena matahari mulai bersinar, sehingga ia mulai berpeluh.Sambil menghela napas, aku bergegas menghampiri nya lalu mengangkat tubuh Monra ke kamar ku yang merupakan satu satu nya ruangan di rumah ini yang menggunakan AC.
Setidaknya itu upaya penebusan dosa ku setelah mencampakkan oven pemberian Fred. Tiap kali aku mengingat Fred, aku mulai merasa dia perlahan lahan berusaha menyaingi aku dengan kemapanan nya. Apalagi jika bukan berusaha menyaingi? Mulai dari membelikan Monra barang-barang mahal, mengajaknya ke tempat makan mahal, dan banyak embel embel lainnya yang mungkin tak ku ketahui. Tapi tetap saja, kontrol diri ku sangat minim, malah hampir tidak ada. Maaf Monra, aku selalu membuatmu ketakutan.

"Mau kemana?" Tanya Monra dengan lirih. Aku terkejut ia terbangun dari tidurnya yang lelap.

"Pergi dinas. Baik baik di rumah," jawabku sambil melangkahkan kaki ku keluar kamar.

"Ga sarapan dulu?" Monra beranjak dari tempat tidur.

Monra celingukan melihat ke arah dapur. Ia sadar, bahwa ia tidak memasak apa-apa pagi ini. Sebab, kami sama sama tidur terlalu lelap semalam.

"M-maaf, Sas, ga ada sarapan," kata Monra setengah tertunduk untuk menutupi rasa malu nya.
Aku tertawa kecil sambil berkata, "It's okay, nanti bisa makan di kantor."

Setelah berpamitan, aku pun pergi meninggalkan rumah dengan tenang. Sesampainya di sana, wajah Caca dengan senyuman yang tersungging di bibirnya sudah menyambut aku. Aku membalas senyuman nya, lalu melewati nya begitu saja. Aku tak menghiraukan nya. Melainkan, aku membalas sapaan para anggota ku yang meletakkan telapak tangan nya di ujung alisnya, tanda hormat.
"Sas, tumben datengnya lumayan terlambat, kenapa?" Tanya Caca sambil mengerenyitkan alisnya tanda curiga.
Aku sibuk merapikan berkas yang ada di meja ku. Sebab, berkas itu mulai membuat mata ku risih.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang