Sastra adalah sastrawan yang menuliskan hidupku dengan dalil dalil tak masuk akal, yang bisa saja membawa hidupku ke ambang kematian. Menjadi 17 tahun, menjadi isteri seseorang, tidak ada tempat mengadu, dan berkeluh kesah. Apalagi di situasi ini, aku harus terjebak di cangkang telur ini sampai 'mertua' ku meninggal. Ditambah barusan saja ia ingin pergi tanpa izin. Aku tak suka menunggui nya dan ia buat aku bertanya tanya kemana dia pergi. Derai derai air mata ku tertahan. Bagaimana bisa aku menangis dan menahan nya pergi? Sementara nama ku tidak terpatri di hati nya. Bagaimana juga aku meminta nama ku terpatri di hati nya? Jika aku sendiri tak suka melihat nya.
Malam yang berat ini pun terlewati. Bagaimanapun, aku harus bangun di pagi hari untuk membersihkan tempat tinggal kami sekarang. Kalau tidak, aku bisa diusir, dimana lagi tempat aku tinggal? Tepat bunyi ayam berkokok, aku keluar dari kamar ku, begitu juga dengan Sastra. Kami saling berpandang sekilas, lalu berpaling muka setelahnya.
Satu hal yang aku benci tentang Sastra adalah, ia bisa saja marah seperti bom, lalu bertingkah seolah tidak terjadi apa apa keesokan hari nya. Seperti aku sendiri yang sedang di ungkep dengan kemarahan.
"Mon," panggilnya.
"Ya?" Jawabku.
"Malem ini.. gue mau pergi acara grand opening restoran temen gue, boleh ya?" Tanya nya.
"Ya." Jawabku singkat dan berniat untuk meninggalkan ruang tengah.
"Soal semalem gu-" kata kata nya terputus, tetapi cukup kuat untuk menahan ku dari pergi meninggalkan ruangan itu.
"Minta maaf?" Jawabku.
"Ga usah minta maaf, ga merubah apa apa." Sambungku lalu pergi meninggalkan dia sendirian.
Detik berubah jadi menit dan menit berubah menjadi jam. Diiringi matahri yang kian tenggelam menandakan siang sudah berakhir.
"Jam 9 nanti mati lampu." Kata Sastra seperti mendeklarasikan Proklamasi.
"Sialan, gue takut gelap." Batinku.
Aku menarik nafas ku dalam dalam. Berusaha diam dan tak takut apapun, bahkan kegelapan sekalipun.
"Mau ikut." Kata ku.
Semua usaha ku sia sia. Sastra tersenyum kemenangan.
"Yaudah, buruan. Pake baju. 10 menit udah kelar." Kata nya lagi.
Aku buru buru merapikan diri ku. Aku memakai atasan off shoulder berwarna merah diikuti dengan trousers yang memberikan kesan formal. Aku memakai heels 3 senti supaya aku terlihat sangat tinggi.
Sastra membunyikan klakson nya. Aku berlari secepat kilat dan mengunci pintu, lalu bergerak cepat menuju mobilnya.
"Lelet lo, kayak keong." Kata pria yang tadi pagi meminta maaf kepada ku.
Aku memberikan side eye kepada nya. Ia tetap menyenandungkan lagu The Weeknd- Starboy seolah olah lagu tersebut membicarakan tentang dia. Menjijikan
Setelah menempuh perjalanan setengah jam, tibalah kami di tempat tujuan. Yaitu, restoran baru milik teman Sastra, Frederik. Aku suka suasana nya. Tempatnya seperti surga putih yang di balut dengan pilar dan interior yang gagah perkasa. Tak henti henti nya aku memuji restoran ini. Ia memiliki selera yang bagus.
"Komandan! Bisa dateng ya lo!" Seru teman Sastra yang kuyakini ia adalah Frederik itu.
Sastra hanya mengangguk sambil memberikan jabatan tangan singkat.
"Woah, woah, woah. So, this is your wife?" Tunjuk Frederik kepada ku tanda tak percaya.
Aku tersenyum senang, lalu membalas jabatan tangan nya. Sastra hanya melirik ku dari ujung mata nya. Frederik menatapku 5 detik. Kurasa, ia ingin meneliti wajah ku. Aku sedikit merasa takut. Kemudian, Fred menepuk bahu Sastra dan pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Into His Pariban
RomanceNIKAH KONTRAK DENGAN PARIBAN!?!??!?! Sastra Hamonangan Siagian adalah seorang perwira lulusan Akademi Militer. Kepintaran, jabatan, dan wajahnya yang bersahaja membuat ia sangat pemilih dalam urusan memilih pasangan hidup. Oleh sebab itu, di usia ny...