Bab 14: Thinking Your Future Was Me

115 8 2
                                    

Aku menatapi Monra yang sedang gelisah dan gundah gulana menatapi teras rumah. Sesekali, ia mengecek handphone nya untuk bermain game offline. Dia sudah banyak sekali aku bohongi. Mulai dari hal hal kecil seperti membelikan genset. Hal yang membuatku takut adalah, ia tidak marah perihal kecupan singkat yang mendarat di keningnya beberapa jam yang lalu. Percayalah, aku ingin menunjukan kepada Fred bahwa Monra tidak bisa ia elus se enaknya. Aku takut saat Monra tidak protes. Apakah dia sudah mulai membenci sifatku ini? Ayolah! Siapa yang juga yang tahan menghadapi aku. Aku berusaha meyakinkan diriku, bahwa aku akan baik baik saja bahkan pada saat aku kehilangan Monra.

"Mon," panggilku lirih.

"Hm?" Tanya nya.

"Kenapa diem aja? Tadi lo ngomong apa sama Fred?" Tanya ku berusaha ber basa basi.

"Apa ya? Lupa," kata nya diikuti dengan cekikik an kecil.

"About that kiss, i'm sorry," pinta ku.

"Gapapa, coba tanya Caca. Gue dari tadi kepikiran dia terus soalnya,"

"Apa hubungan nya sama dia?" Tanya ku sedikit takut.

"Kan kalo sandiwara ini selesai, lo balik sama dia kan?" Kata nya berusaha membuatku membenarkan alasan nya.

Aku terdiam. Lalu ia pamit untuk masuk ke kamarnya. Gadis mana yang bisa berpikir seperti ini? Aku sedikit mengkhawatirkan nya. Tapi, tak sanggup melepaskan Caca. Caca dan ayahnya banyak membantuku hingga aku bisa berada di titik ini. Semacam terhutang budi? Tapi terlalu kejam untuk mengatakan hal itu.

Monra's POV

Aku termenung lagi. Aku sedikit terkejut saat bibir Sastra mendarat di keningku. Aku lupa kali terakhir aku dicium di kening. Rasanya aneh. Tapi di satu sisi, aku merasa terkesima. Tapi tiap kali aku sedikit menaruh rasa kepada Sastra, aku ingat bahwa hubungan nya dan aku hanyalah sebatas bisnis. Sedangkan dengan Caca, hubungan mereka melibatkan perasaan dan alam semesta yang kurasa mendukung.

***
Sastra pergi meninggalkan aku pagi pagi sekali. Saat aku terbangun, terasa sepi merasuki dada. Tidak ada yang mengomel, hanya sunyi senyap. Aku duduk di sofa sambil memainkan handphone ku. Saat matahari sudah diatas kepala, tiba tiba saja sesosok perempuan cantik mendatangi aku. Aku baru ingat, dia kak Alina. Baiklah, aku sedikit takut sekarang.

"Sastra mana?" Tanya nya.

"K-kurang tau, Kak. Tadi pagi sudah pergi," kata ku jujur.

"Ini gue ga disuruh masuk ni?" Kata nya.

"Oh ya maaf, Kak. Masuk masuk masuk," jawabku.

Ia duduk menyilangkan kaki nya dan melipat tangan nya di dada. Ia menatapi ku dari atas sampe bawah.

"Lo masih virgin?" Tanya nya spontan.

"Hah?" Kata ku.

"Maaf.." sambungku lagi.

"Ga usah lo tutupin. Kalian cuma hubungan bisnis aja kan? Jangan ngira gue bego," ungkapnya tegas.

Aku terkejut. Apakah se kontras itu kami terlihat berpura pura? Aku diam saja.

"Pinter juga lo, tau aja mana yang kaya. Hati hati, kalo ini semuanya berakhir, lo  tetap sebatang kara. Sementara Sastra, dia balik sama Caca dan mulai hubungan mereka dari awal lagi."

Aku memainkan baju ku seolah olah itu adalah permainan yang menarik.

"Dan satu lagi, gue mohon.. ARGHH.." perkataan kak Alina terpotong dan ia teriak kesakitan sambil memegangi perutnya.

"Hei, Kak. Kenapa?" Tanya ku panik sambil menghampiri kak Alina.

"G-G-GUE MAU MELAHIRKAN." Teriak kak Alina.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang