Bab 17: Bulletproof

239 12 7
                                    

Sedari awal aku menyimpan perasaan ku, perjanjian ini pula yang menjadi tembok penghalang keberlanjutan hubungan kami. Tapi setidaknya, Sastra tidak berkata bahwa ia tidak menyukai aku, kan?
"Gue tau, Sas! Makanya, gue mau memperlakukan lo sebaik mungkin, supaya sisa 4 bulan ini ga sia-sia," kata ku sambil tersenyum tegar.

"Well, i'll do the same thing. Tapi ingat, sooner or later, kita selesai."

Hari itu juga, aku seperti memasang rompi baja anti peluru sebagai pembungkus perasaanku. Terutama, dengan 2 kata terakhir yang diucapkan Sastra.

[Sastra]

"Gue suka sama lo, Sas..."

Lima kata yang sudah belasan kali membisik ke telinga ku sejak aku beranjak dewasa. Semua nya terasa biasa saja hingga Monra yang mengucapkan nya. Mustahil memang jika perempuan dan laki-laki tinggal dalam atap yang sama, tetapi setidaknya salah satu dari mereka tidak menyimpan perasaan. Aku kira, aku adalah orang bodoh yang selama ini menyimpan rasa kepada Monra. Ternyata aku salah. Kami berdua sama sama bodoh.
Tepat setelah lima kata sakral yang Monra ucapkan, kesunyian antara kami berdua kembali tercipta. Lidahku tercekat. Ingin sekali rasanya aku mengiyakan ajakan Monra untuk hidup bahagia selamanya, seperti keluarga ideal. Tapi, aku teringat dengan posisi Caca yang bahkan rela meninggalkan segalanya demi aku. Aku pun begitu. Aku sudah membangun rumah untuk masa depan aku dan Caca.

"Doain aja mama panjang umur, Mon. Ingat perjanjian kita di awal. Kasarnya, mama selesai, kita juga selesai," jawabku.

Aku tak berkata bahwa aku tidak menyukai Monra. Aku hanya berharap, kami bisa mengulur waktu apabila semesta ikut turut campur dalam permasalahan kami ini.

Monra tetap gigih dengan pendirian nya. Tak sedikitpun ia menunjukkan ekspresi sedih ataupun mengemis. Justru hal ini yang menghancurkan hatiku.

***

"Halo, Mon. Apa kabar kalian? Udah sombong sekarang ga mau main lagi ke rumah," sapa Pak Siagian di panggilan suara.

"I-iya, Amang. Maaf ya, Amang. Akhir-akhir ini Sastra memang lagi sibuk. Ya kan, Sas?" Balas ku.

Sontak, Sastra yang tengah menonton siaran berita merasa terpanggil karena nama nya di sebut.
"Siapa?" Tanya nya setengah berbisik.
Aku menjauhkan ponsel dari bibirku, supaya Pak Siagian tak mendengar percakapan kami.

"Amang," jawabku ikut berbisik.

"Mana si Sastra? Kasih dulu hp mu ke dia. Aku mau dengar suara nya," kata Pak Siagian bersemangat.

Tanpa basa-basi, aku langsung menyerahkan handphone ku kepada Sastra. Sastra langsung membuat huruf 'X' menggunakan lengan nya, pertanda ia malas menelpon ayahnya sendiri. Mata ku langsung melotot melihat sikapnya itu. Mau tidak mau, ia harus menerima panggilan dari Pak Siagian.

"Halo, Mang. Sehat nya kau?" Tanya Pak Siagian.

"Sehat, Pa. Papa gimana?" Balas Sastra kembali bertanya.

"Sehat. Besok kalian semua datang ke acara makrab Organisasi Tennis Meja Kompleks. Papa sendiri yang bangun organisasi ini. Malu Papa kalian ga datang," kata Pak Siagian.

"Ya Tuhan. Sempat-sempatnya Papa bikin acara kayak gitu padahal mama lagi sakit, kondisi nya makin parah. Kemarin aja di bawa ke rumah sakit lagi kan?" Kata Sastra sambil menggaruk kepala nya.

He's Into His Pariban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang