Hikam telah sampai di rumah mertuanya, ia segera mengetuk pintu rumah itu, rasanya ia sudah tak sabar untuk segera menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi.
"Assalamualaikum," ucap Hikam, seraya mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalam," ucap abi mertuanya, seraya membuka pintu.
"Abi, maaf Hikam baru berkunjung kemari," ucapnya sambil menyalami tangan abi.
"Iya, nak, gak apa-apa, ayo masuk dulu," ajak abi.
Kemudian, abi dan Hikam pun segera masuk ke dalam rumah.
"Eh, ada menantu kesayangan umi, ada apa, nak?" tanya umi.
"Iya umi, i-itu Hikam mau jemput Alifia, ada di sini kan, mi?" ucap Hikam, lalu menyalami tangan ibu mertuanya.
Abi dan umi pun saling bertatapan, seolah bertanya-tanya dengan apa yang terjadi di antara anak dan menantunya ini.
"Iya, nak, Alifia ada di sini kok, tapi sebelumnya, maaf jika umi dan abi ikut campur dalam rumah tangga kalian, kami hanya ingin tahu sebenarnya, apa yang terjadi? Apakah kalian sedang ada masalah?" tanya umi.
Hikam terdiam sejenak, apa yang harus ia katakan? Apakah ia harus jujur kepada mertuanya perihal kesalahpahaman ini?
"Umi, abi, maaf juga sebelumnya, Hikam tidak bermaksud untuk menyakiti hati istri Hikam, Alifia salah paham sepertinya," Ucap Hikam.
"Hmm? Salah paham? Perihal apa?" Tanya abi.
Kemudian, Hikam pun menceritakan inti dari permasalahan keduanya, sementara mertuanya menyimak dengan seksama, sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Seusai itu, mereka mengerti dan akan mencoba membantu menantunya agar Alifia mau mendengarkan penjelasan suaminya itu.
"Baik, nak, yang sabar ya, bujuk dia terus, mungkin perasaanya saat ini masih diselimuti rasa emosional, semoga ia bisa mengerti nanti," ucap umi menenangkan.
"Iya, nak. Wanita memang kadang sensitif, apalagi saat ini sedang mengandung, umi mertuamu juga dulu seperti itu," ucap abi sambil melirik ke arah istrinya.
"Eh, kok jadi bawa-bawa umi? Walaupun emang benar sih," ucap umi.
"Tuh kan, jadi kita harus sabar-sabar nih, Kam," ucap abi sambil mengelus pundak Hikam.
Hikam tersenyum mendengar percakapan di antara mertuanya, beruntungnya ia mempunyai mertua yang pengertian.
"Yaudah sebentar ya, umi panggil Alifia dulu, siapa tau udah jinak lagi," canda umi.
Kemudian, umi pun bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar sang putri tercinta.
****
Alifia tengah menatap langit-langit kamarnya, sesungguhnya ia ingin menghampiri suaminya itu, tapi hatinya seakan masih belum siap untuk bertemu dengan lelaki itu.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari balik tembok kamarnya. Dengan perlahan ia menghampiri sumber suara, dan membukakan pintu tersebut.
"Umi, mas Hikam masih ada di sana?" ucap Alifia.
"Hmm? Cie langsung nanyain? Kangen ya? Makanya udah sana temuin," perintah umi.
"Ish umi, gak ah gak mau," ucap Alifia.
"Kenapa gak mau? Kalau ada masalah tuh di selesaikan dong, sayang, jangan malah lari kayak gini," ucap umi.
"Iya umi, Alifia tau, tapi Alifia masih kesal, mas Hikam nyebelin, pokoknya Alifia gak mau ketemu dulu, tapi-- kangen," celotehnya.
"Yahh, gimana sihh? Temuin aja dulu, yuk?" ajak umi.
"Jangan sekarang deh mi, bilangin ke mas Hikam, Alifia masih marah pokoknya," ucap Alifia.
"Aduhh gemas banget, pantesan Hikam sampai gelisah gitu istrinya kabur, ternyata emang gemes yaa anak umi ini? Kayaknya sih bawaan dari calon cucu umi ya?" ucap umi terkekeh.
"Ishh umi, bisa aja, udah ah, mi," ucap Alifia tersipu.
"Jadi, gak mau nih? Yakin?" tanya umi memastikan.
Alifia mengangguk.
"Yaudah, semoga besok dia gak kapok yaa membujuk istrinya yang masih merajuk ini," ejek umi.
Seusai itu, umi pun segera pergi dari kamarnya, memang sepertinya saat ini Alifia butuh waktu untuk menenangkan diri dan meredam rasa emosinya.
****
Hikam masih tampak setia menunggu kabar baik dari umi mertuanya, derap langkah kecil terdengar semakin mendekat.
Ia menoleh ke arah suara, dan ternyata itu adalah umi mertuanya, namun, tampaknya ibu mertuanya tak berhasil membujuk istrinya.
"Maaf ya, nak, sepertinya memang Alifia masih harus menenangkan diri," ucap umi.
Hikam menghela napasnya, seperti memang ia benar-benar harus bersabar dan berusaha lebih untuk membujuk Alifia.
"Iya, umi, tak apa, terima kasih sudah berkenan membantu," jawab Hikam tersenyum ramah.
"Sabar ya, nak, umi yakin, Alifia gak akan lama kok marahnya, pokoknya kalian harus segera selesaikan kesalahpahaman ini ya, gak baik loh kalau dibiarin," umi menasihati.
"Iya umi, kalau gitu Hikam pulang dulu ya, soalnya hari ini Hikam ada jadwal kerja," pamit Hikam.
"Hmm, baiklah nak, pasti pasienmu sudah banyak menunggu ya, hati-hati di jalan," ucap abi.
"Iya, bi, salam untuk Alifia ya, mi, tolong sampaikan kalau Hikam sangat merindukannya dan calon anak kita," ucap Hikam lirih.
"Iya nak, nanti kami sampaikan, ya," jawab abi.
"Ya sudah, Hikam pergi dulu, Assalamualaikum," ucap Hikam, kemudian menyalami tangan kedua mertuanya.
"Wa'alaikumussalam," ucap keduanya.
Hikam melangkah meninggalkan kediaman Alifia, ia menoleh sejenak ke jendela kamar istrinya, menatapnya cukup lama.
"Cepat kembali, jauzati," ucapnya.
Kemudian, ia segera menancap gas menuju ke rumahnya untuk bersiap mencari nafkah.
Ayo baikan lah kalian, awas loh Fii nanti Hikamnya di ambil orang 😂 Canda Fii 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Untuk Alifia ( End )
Ficção Adolescente[ Religi-Romance ] ( Belum Revisi ) Alifia tidak pernah menyangka jika di usianya yang baru menginjak 20 tahun ia harus di jodohkan dengan lelaki bernama Muhammad Hikam Al-Ghifary. Seorang lelaki Shalih lulusan dari salah satu Universitas dan pond...