Prolog

1.7K 143 47
                                    

Pembuka
°°°°°°°°°

Kau hanya memanggil namaku. Namun, hatiku yang mendengarkan.

Kau hanya menarik tanganku.
Namun, perasaanku yang kau genggam.

Dan kau hanya tersenyum kearahku. Namun, harapku yang mendadak memimpikan mu.

*********

"Kisah cinta yang muncul saat awan tengah mendung dan bumi menanti hujan."

—cinta sebelum hujan—

Pagi itu, aku tersentak kala seorang Pria mengenakan setelan kemeja rapi datang berkunjung ke rumahku bersama Ibunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu, aku tersentak kala seorang Pria mengenakan setelan kemeja rapi datang berkunjung ke rumahku bersama Ibunya. Dia Fahrim, seorang dokter muda yang kini bekerja di kota, wajahnya tampan dan Kami adalah teman sekelas waktu sekolah dasar.

"Jadi begini loh, Bu. Maksud kedatangan kami kesini itu, bukan lain adalah ingin meminang Anak Ibu menjadi menantu saya," jelas Wanita mengenakan kebaya kuning itu dengan seutas senyum di bibir bergincu merahnya, terkesan begitu ramah.

Aku yang tengah membuat teh di dapur dibuat terkejut bukan main saat mendengar pernyataan itu. Pasalnya setelah lulus sekolah dasar aku dan Fahrim tidak lagi berkomunikasi, karena selepas itu Fahrim bersekolah di kota. Lantas kenapa mereka melamarku?

Dengan perlahan aku melangkah masuk ke ruang tamu dengan membawa beberapa gelas teh di atas nampan yang aku pegang. Dengan gugup perlahan kusajikan teh itu kepada Fahrim dan Ibunya, saat tanganku meletakkan gelas itu dihadapan Ibu Fahrim, Ia mengelus wajahku sambil tersenyum. "Cantik kan, Rim?" tukasnya. Menatap putranya yang nampak begitu gugup pagi itu, dan aku hanya tersenyum. Perlahan mundur kebelakang.

"Jadi bagaimana, apakah kalian menerima pinangan Kami?" tanya wanita itu lagi.

Bapakku tersenyum begitu juga Ibuku. Mungkin bagi mereka ini adalah sebuah keberuntungan yang tak akan pernah muncul lagi, bagaimana tidak? kini Putri semata wayangnya dilamar seorang Pria terpelajar dengan pekerjaan bagus dan yakin putrinya akan selalu hidup berkecukupan tanpa pernah merasa kekurangan.

"Kami serahkan semuanya pada Putri kami, karena dialah yang mau menjalankan kehidupan rumah tangganya dan Kami mau Putri kami menikah atas kemauannya sendiri," ucap Bapakku begitu sopan. Melempar kan semua keputusan kepadaku. Aku terkejut.

Aku menatap kedua keluarga yang kini sedang menantikan jawaban ku. Dengan gemetar aku berucap "aku menerimanya," sambil tersenyum. Diikuti yang lainnya yang langsung tersenyum senang mendengar jawaban itu. Entah ini keputusan yang tepat, tapi kuharap takdir mengantarkanku pada sebuah keberuntungan.

Saat tersenyum tanpa sadar pandanganku mengarah pada Fahrim yang tengah sibuk memperhatikanku. Mata kami sempat beradu sebentar, hingga aku segera mengalihkan pandangan.

"Silahkan di minum tehnya," ujar Bapakku mempersilahkan.

Fahrim dan Ibunya lalu menyeruput teh tersebut. "Manis," ujar Fahrim.

"Apa kemanisan?" tanyaku merasa tidak enak.

"Tidak, maksut ku pas," katanya. Mengoreksi ucapannya sambil tersenyum, yang sontak mengundang gelak tawa yang lainnya. Rasanya pipiku saat itu langsung merah merona. Malu.

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bersambung.......



AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang