Separuh Jiwa

343 29 5
                                    

Pagi berikutnya, aku terbangun dari tidur. Menatap kosong kearah langit-langit kamar, terasa hampa. Entah hanya perasaanku saja, tapi seperti ada yang hilang.

Aku memegang dadaku yang  terasa berdegup kencang. Berkedip beberapa kali.
"Ada apa?" batinku.

Aku beranjak dari tempat tidur. Suasana rumah mendadak begitu sepi. Tak ada suara Ibu yang biasanya mengomeli karena aku bangun terlambat.
"Apa ibu masih tidur?" Berjalan ke arah kamarnya.

Ayahku memang sedang berada di kota, karena beberapa bulan terakhir ia sering menerima tawaran pekerjaan di sebuah proyek pembangunan. Jadi, hanya ada aku dan Ibu di rumah.

TOK...
TOK...
TOK...

Tak ada balasan, kamar terasa hening. Keheningan itu sukses membuat degup jantungku semakin memburu. Dengan tergesa-gesa, langsung kubuka pintu tanpa persetujuan dari dalam. Kutatap Ibuku yang masih tertidur, tangannya terlipat di atas perut, dan wajahnya memucat.

"Ibu... " panggilku yang tak di respond.

Aku mengernyit khawatir. "Ibu..." panggil ku sekali lagi. Mulai berjalan mendekat.

Masih tak di respond.

Ibuku tertidur, dan sepertinya tak akan bangun lagi.

Dengan tak percaya aku segera memeluk tubuh itu. Mencoba membangunkannya, berharap ia hanya sedang kelelahan atau memang sedang mengerjaiku.

"Ibu... bangun." Tubuhnya terasa dingin. Dan, saat itulah aku mulai menangis sekeras mungkin. Sekeras pikiranku yang membantah kenyataan, bahwa Peri duniaku telah hilang.

Beberapa saat kemudian, Tetangga-tetangga yang mendengar tangisanku mulai berdatangan. Mengerumuniku, dan menatap iba padaku. Bagai tak peduli hal lain aku berlari kearah ruang keluarga. Menelpon Ayahku.

"Ayah... " lirihku dengan bibir bergetar.

"Ada apa?" suara khawatir Ayahku dapat kurasakan.

"Ibu udah gak ada... "

Ayahku diam beberapa saat, dan aku yakin ia sama sepertiku, mencoba menyangkal kenyataan. "Tenang, kamu jangan nangis. Ayah pulang," ujarnya lalu mematikan sambungan telepon.

Saat-saat paling tak bisa ku jelaskan betapa hancurnya hatiku, betapa runtuhnya dunia, dan betapa linglung nya pikiranku yang tidak mampu memahami kejadian ini. Aku kembali ke kamar. Orang-orang bergantian memelukku, me-nyemangatiku, dan menyuruhku bersabar.

"Kamu yang kuat, supaya Ibumu tenang di sana," ujar salah-satu tetangga sambil menepuk pelan punggungku.

Aku duduk di samping tubuh Ibuku. Menatapi wajahnya sepuasnya, sebelum saat dimana aku hanya dapat melihat wajah itu melalui selembar photo.

Pintu terbuka, mengalihkan pandanganku. Kulihat Siti tengah menatapku dengan mata memerah. Segera berlari ke arahku. Memeluk tubuhku, sambil tersedu.

"Siti... Ibuku meninggal," ujarku yang tenggelam dalam pelukannya.

Di tepuk-tepuknya pelan punggungku. "Kamu kuat, aku tahu kamu kuat, Tia."

AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang