Hubungan Remaja

494 58 16
                                    

"Hati yang dekat belum tentu milikmu"

Sepulang sekolah, hujan mendadak turun begitu deras membuatku harus terjebak di teras salah-satu toko tua di tepi jalan yang sudah lama tidak beroperasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepulang sekolah, hujan mendadak turun begitu deras membuatku harus terjebak di teras salah-satu toko tua di tepi jalan yang sudah lama tidak beroperasi.

"Kapan hujannya reda," aku bergumam kesal, hampir empat puluh menit terjebak di sini memang cukup menyebalkan apalagi dengan cuaca dingin yang membuat tubuh menggigil.

Langit masih gelap dan dari kejauhan aku melihat sesosok Pria mengendari sepeda mendekat, dan dari perawakannya dapat dikenali bahwa itu Awan.

Pria itu memarkirkan sepedanya lalu mendekat ke arahku "ngapain?" tanyanya. Basa-basi.

"Jemur pakaian," tukasku asal.

Ia tersenyum. "Galak banget," mencoba meledekku.

"Enggak usah becanda, gak lucu."

Ia berdiri di sampingku. Menatap tetesan tetesan hujan yang jatuh menyapu aspal "Udah baca surat dari aku?"

Aku meliriknya sekilas. "Udah, yang isinya gak jelas itu kan," jawabku ketus.

"Nanti kamu juga bakal paham," ucapnya yakin.

Selepas perbincangan singkat itu, hening merayap di antara kami.
Awan tak lagi bicara begitu juga aku, kini Pria itu nampak tengah memikirkan sesuatu, entah apa tapi firasatku menyatakan ia tengah mencari topik.

Ditengah suara hujan yang kian jelas, di kejauhan seorang Gadis berpayung putih transparan perlahan mendekat, wajahnya yang memutih karena cuaca dingin, terlihat cantik di tengah derasnya hujan.

Saat ia sampai di hadapan kami, ia menutup payung nya lalu meletakkannya sembarangan.
"Kalian udah lama?" suara nya yang lembut menepis suara hujan.

Aku tersenyum. "Sudah, kamu tidak di jemput supirmu?" tanya ku.

Ia menepis-nepis pakaiannya yang basah, lalu menatapku. "Tidak. Mungkin mobil sedang rusak," ujarnya.

Aku mengangguk mengiyakan, bingung mau bicara apalagi. Hingga sebuah batuk terdengar mengalihkan eksistensi kami dari hujan, Ana nampak begitu pucat dan dari raut wajahnya mungkin tidak tahan dengan udara dingin.

"Kamu ngak apa apa?" tanya ku, khawatir.

Ana tersenyum. "Tidak apa apa, mungkin hanya batuk biasa," ujarnya. Memeluk tubuh nya sendiri.

Aku beralih menatap Awan yang kini masih diam. Melihat Pria itu mengenakan jaket sontak aku memanggilnya dan ia menatap ku. "Lepas jaketmu!" suruhku tiba-tiba.

"Buat apa?" tanyanya bingung.

"Lepas saja!" suruhku semakin memaksa.

Ia melepas jaketnya lalu memberikannya padaku. Aku tersenyum. "gitu dong," ujarku.

Aku beralih pada Ana lalu memberikan jaket itu padanya. "Nih, pakai dulu!" ujarku pada Gadis yang kini menatapku.

"Tidak usah," katanya tidak enak.

"Pakai saja! kayaknya hujannya juga masih lama."

Ia menerima jaket itu lalu memasangkannya pada tubuhnya. "Makasih," ujarnya.

"Makasih sama dia," ujarku. Melirik ke arah Awan.

"Makasih Wan," ujarnya pada Pria di sampingku.

Awan tersenyum "iya, sama sama," jawabnya canggung.

Suasana selanjutnya menjadi hening. Awan mungkin semakin sungkan untuk bicara karena kehadiran Ana di sekitar kami dan aku sedang tidak punya hal untuk di bicarakan, apalagi pada Ana yang jelas jelas Kami tidak terlalu akrab di sekolah walau sekelas. Aku lebih banyak bergaul dengan Siti karena menurutku Siti adalah sahabat yang baik walau tidak pintar ia periang sehingga membawa banyak dampak positif padaku.

Hujan perlahan mereda namun belum seratus persen, masih membuat tubuh basah apabila nekat menembusnya.

"Kalian pacaran?" Ana akhirnya buka suara, langsung menanyakan pertanyaan paling sensitif di antara kami.

Sejenak aku dan Awan saling tatap hingga aku dengan tegas membatahnya. "Tidak, kami teman."

Mendengar itu Awan hanya diam, tidak membatah juga tidak mengiyakan, membuatku semakin bingung hubungan diantara kami.

Ana mengangguk. Mulai membicarakan hal lain yaitu menanyakan pada Awan kemana ia akan melanjutkan kuliahnya. Bukan tanpa alasan Ana mungkin tahu benar bahwa Awan lah peringkat umum di sekolahan.

Awan berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban lalu memberi tahu nama Universitas yang sama dengan Universitas yang akan dituju oleh Ana.

"Oh... Sama dong," seru Ana yang tertarik pada topik.

Begitu juga Awan, ia nampak suka dengan topik pembicaraan itu lalu mulai menanyakan banyak hal lain pada Ana. Aku hanya diam tidak mendengarkan dengan jelas hal yang mereka bicarakan. Merenung sambil menatap hujan yang kian reda.

Hampir lima belas menit menunggu akhirnya hujan benar benar reda. Cahaya matahari pun mulai nampak menyorot kami, membuatku kembali sadar dari lamunan ku.

"Kamu lanjut kemana?" tanya Ana padaku.

Aku menatapnya bingung. "Maksutnya," mencoba meminta penjelasan.

Ana tersenyum. "Kamu lanjut kuliah kemana?" ujarnya memperjelas.

Aku diam. Bingung mau menjawab apa?-hingga aku teringat dengan kata-kata Siti
"Tidak, Aku mungkin gak kuliah," jawabku.

Ana memandangku tidak enak. "Kamu mau langsung kerja?" tanyanya lagi.

"Tidak juga, Aku mungkin langsung nikah saja," ujarku sambil tersenyum. Mungkin dengan jawaban itu Ana tidak akan banyak bertanya lagi.

Gadis itu berdeham mengiyakan
"Jangan lupa undang aku," gurau nya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Sementara Awan nampak semakin diam, entah apa yang dipikirkannya setelah mendengar ucapanku itu.

"Hujan sudah reda, pulang yok!" ajakku. Mengalihkan topik.

Mendengar ajakanku itu, Awan langsung berjalan menuju sepedanya. Menaikinya, lalu pergi tanpa sepatah katapun padaku atau pada Ana. Membuat ku sedikit tidak enak padanya. "Apa ia marah?" batinku.

 "Apa ia marah?" batinku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung....










AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang