"Cara gila paling mudah adalah mencintai orang tidak punya hati."
(8 tahun sebelumnya)
"Mau putus sekarang atau besok?" Pria itu menatapku dengan tampang tak berdosa.
"Maksud kamu apa?" aku yang tak paham mencoba memastikan bahwa Pria di hadapanku ini sedang tidak asal bicara.
"iya, Aku mau putus."
"Putus?"
Pria itu mengangguk. "Aku udah ngak bisa sama kamu," katanya dengan begitu santai.
"Awan, aku lagi ngak mau becanda. Jadi, stop main main," tekanku.
Ia menghela. "Aku ngak main main Tia, aku mau putus."
Aku memandangnya tidak habis pikir. "kamu gila," pungkasku.
"Tidak sampai gila juga." Ia tersenyum ke arahku. " Tapi kalau itu buat kamu lebih bahagia setelah kita putus, anggap saja begitu."
Aku menghela tidak percaya, bagaimana bisa Aku bertahan dengan orang segila ini selama 6 bulan. Minimal setidaknya sekali dalam jangka waktu itu ia menunjukkan bahwa dia gila dan aku tidak harus bertahan sejauh ini hingga menghabiskan satu semesterku bersamanya.
"Kamu selingkuh?" kutanyakan pertanyaan terakhir, setidaknya jika hubungan ini berakhir karena peristiwa perselingkuhan posisiku akan lebih baik yaitu menjadi wanita tersakiti daripada menjadi wanita bodoh yang tidak bisa mengenali orang gila di dekatnya.
Raut wajahnya berubah. Tidak terima. "Enak saja, aku ngak selingkuh," bantahnya. Melipat kedua tangan di depan dada lalu buang muka.
Mendengar itu sontak aku menggerutu kepanasan. "Terus, kenapa kamu mau putus?" teriakku parau, bagai orang kesetanan.
Ia nampak berpikir sejenak hingga kembali berujar "aku gak punya alasan." Tersenyum tipis tapi, terasa meledek bagiku.
"Wow... Kamu bukan cuma gila tapi bodoh juga ternyata," ucapku. Setidaknya aku harus mengumpatnya minimal sekali sebelum kami benar-benar berpisah.
Pria itu masih tersenyum.
Bel berbunyi. Pertanda waktu istirahat telah berakhir. Kami saling tatap dalam ke emosian, maksudku hanya aku yang emosi, sedangkan Pria itu hanya tersenyum bagai orang kesurupan.
"Ok, mulai sekarang kita putus. Di bawah pohon ini. Aku, Mutia menegaskan bahwa Kita benar- benar putus dan tak akan berhubungan lagi," teriakku bagai sebuah ikrar yang sering di ucapkan pada saat upacara bendera.
Dengan tubuh yang rasanya hampir meledak, aku meninggalkan tempat itu termasuk meninggalkan semua kenangan bersama Awan yang menurutku selama bersamanya aku cukup bahagia.
Terdengar klise namun aku benar-benar menyukai Pria itu.
Jam pelajaran dimulai. Suasana kelas yang hening serta penjelasan guru yang kurang aku pahami membuatku tak bisa mengalihkan topik pikiran dari Awan, maksudku Ibrawan. Awan hanya nama buatanku untuknya. Aku memikirkan banyak sekali alasan-alasan mengapa Pria itu memutuskan hubungan kami begitu saja, dan setelah kupikir panjang aku memang tidak terlalu cantik, tapi tidak buruk juga. Setauku, aku cukup populer di kalangan kakak kelas tahun lalu atau adik kelas yang sekarang, lantas mengapa ia memutuskanku?
Alasan bahwa ia gila adalah jawaban paling tak masuk akal. jika ia memang gila kenapa ia bisa juara umum satu sekolahan dan fakta bahwa akulah rangking 23 dari 32 siswa menampik bahwa sebenarnya lebih masuk akal jika aku yang gila daripada Pria itu.
"Mutia," panggil Gadis berambut panjang yang duduk di samping ku—Siti.
"Iya, ada apa Sit?" jawabku malas. Melirik sekilas kearahnya.
"Kamu kenapa sih? Kok kayak lagi banyak pikiran," katanya setengah berbisik.
"Aku? Aku gila Siti," ucapku sambil tersenyum. Menjatuhkan wajahku keatas meja lalu memejam.
Siti memandangku prihatin. "Aku tau pelajaran kimia ini susah, tapi setidaknya jangan sampai gila Tia," ujarnya sok bijak.
Aku tersenyum. Kembali mengingat fakta bahwa aku berteman dengan rangking 32 dari 32 siswa membenarkan bahwa memang harusnya aku yang gila.
Aku kembali duduk lalu mengambil napas panjang. Menoleh sejenak kearah Siti. "Siti bisa diam gak, aku ngak mau kena masalah kalau kita ketahuan bicara," ujarku memperingati.
Raut wajah Siti mendadak berubah "iya Aku diam," katanya terdengar terpaksa. Beralih kearah guru yang menerangkan di depan.
Pelajaran terus berjalan, aku memandang Guru yang terus berbicara, serta bolak-balik mencoret sesuatu pada papan tulis. Kalau ditanya apa aku mengerti, kalian pasti tau jawabannya, tentu tidak.
Selain memandang guru aku juga memandang jam dinding diatas papan tulis, gerak jarumnya terlihat lambat. Sesekali aku juga menghitung gerak jarum panjangnya sebanyak enam puluh detik berulang kali hingga lelah baru kembali memandang guru yang tengah menjelaskan.
Bel berikutnya berbunyi. Pertanda waktu sekolah habis.
Aku buru-buru mengambil tas lalu segera meninggalkan kelas itu, di depan gerbang aku melihat banyak siswa yang tengah berdesakan ingin keluar, dan aku tak mau mengambil resiko terhimpit diantara banyak manusia dengan wangi berbeda beda, ada asam ada juga asin sehingga memilih untuk menunggu sejenak hingga gerbang itu sedikit lengang akan banyaknya manusia.Belum sampai tiga menit menunggu. Aku melihat Awan tiba-tiba lewat dan langsung masuk ke dalam kerumunan. Seketika rasa penasaranku membuncah, setidaknya aku harus tau apa alasan Pria itu memutuskanku dengan cara tak bermoral seperti tadi.
Karena sejujurnya aku belum ikhlas hubungan kami kandas begitu saja.
Aku memilih mengikutinya. Masuk kedalam kerumunan, dan benar saja aku terhimpit di sana dengan bau-bau persis seperti yang kubayangan tadi. Asam.
Setelah keluar dari sana, aku melihat Pria itu masuk kedalam sebuah mobil hitam dengan tergesa-gesa. Aku ingin berteriak memanggilnya. Namun, tak jadi karena melihat raut wajah Pria itu sepertinya ia ada urusan penting.
Dan yang jadi pertanyaan dalam benakku. Mobil siapa itu?
Tak mau ambil pusing aku berjalan kearah Halte di tepi jalan. Duduk termenung di sana.
Mengambil buku diary dari dalam tas lalu membukanya perlahan. Diary itu sengaja kubeli enam bulan lalu saat aku baru berpacaran dengan Awan. Yah, saat itu kupikir mungkin saja kisah romantis kami akan berlangsung hingga pelaminan sampai maut memisahkan, dan isi buku itu nantinya akan selalu kubacakan untuk anak-anak kami kelak.Aku menghela. "Boro-boro nunggu maut, nunggu lulus saja kami sudah putus," ujarku kesal.
Membuka halaman baru. Mulai mencurahkan segala keluh kesahku hari itu. Aku menulis begitu banyak sampai-sampai menghabiskan beberapa lembar kertas yang isinya hanya seputar tentang betapa kesalnya aku saat diputuskan Pria itu. Yah, meskipun dari tulisanku itu banyak kalimat yang masih mengartikan bahwa aku masih mengharapkan hubungan kami masih bisa diperbaiki lagi.
Yah, bisa bilang cinta memang membuat bodoh. Namun hanya kebodohan itu yang membuat bahagia.
Bersambung.....
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN
Teen Fiction1) Jika waktu bisa di putar, dan aku bertemu lagi denganmu di masa lalu, maka kuputuskan untuk mencintaimu lagi... 2) Kamu adalah rencana paling tak terduga yang datang padaku, entah itu rencana terluka atau rencana untuk bahagia... 3) Kaidah 'Cint...