Perpustakaan

426 49 19
                                    

"Untuk hati yang terus saja rumit dipahami."

Hampir dua bulan, aku dan Awan tidak lagi berhubungan, dia menjauh seolah berusahamenghindariku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir dua bulan, aku dan Awan tidak lagi berhubungan, dia menjauh seolah berusaha
menghindariku.

Aku sering melihatnya bolak- balik perpustakaan, mungkin karena ujian kelulusan sudah sebentar lagi, juga tes masuk perguruan tinggi. Bukan hanya itu, semenjak pertemuan terakhir kami Ia dan Ana terlihat sering bersama, saat belajar di perpustakaan dan di kantin saat jam istirahat.

Kami juga sering berpapasan di gerbang, atau di koridor namun ia tak menyapaku padahal aku sudah mencoba tersenyum kepadanya, terkadang Aku merasa ingin meminta penjelasan padanya kenapa ia menghindariku namun tidak jadi karena aku tahu kami sudah tidak memiliki hubungan.

Aku juga sudah bertanya pada orang tuaku tentang masalah kuliah, tapi mereka menanggapi nya dengan wajah sedih, dan saat malamnya mereka bertengkar tentang hal tersebut, semuanya hanya masalah biaya. Dan mulai saat itu aku tak lagi berani membahas masalah tersebut.

"Tia, dua minggu lagi ujian kelulusan sudah di mulai." Mata Siti mengerjap dua kali.

"Terus?" kataku tidak paham.

"Kamu sudah belajar?" lanjutnya memperjelas.

"Tidak, aku malas," jawabku acuh.

"Aku juga." Ia memelukku "kita memang teman sejati," ujarnya yang terdengar geli.

Di tengah perjalanan menuju kearah kantin, tanpa sengaja kami berpapasan dengan Awan dan Ana. Ana menyapaku dan aku balas menyapanya. Namun tidak dengan Awan, ia nampak acuh denganku, menatap lurus ke depan.

Sepenjang perjalanan Siti memandangku berulang kali hingga ia memberanikan diri untuk bertanya "Awan kenapa berubah ya?" tanyanya padaku.

Aku mengedikkan bahu "tidak tahu," jawabku acuh.

Siti pasti mengerti dengan jawabanku, bahwa aku sebenarnya jauh lebih penasaran dari nya, tapi ia tak menanyakan hal itu lagi karena tahu aku tidak menyukainya.

"Siti, kayaknya aku gak jadi ke kantin deh," ucapku tiba tiba.

Langkahnya terhenti, menatap ku. "Kenapa?"

Aku memukul pelan perutku "sudah kenyang," jawabku dengan nada bercanda.

"Ya, sudah aku duluan kalau gitu," ia melambai. Berjalan menuju kantin.

Aku berbalik arah, menuju tempat yang di tuju Awan dan Ana, perpustakaan. Sejujurnya aku terkadang mengikuti mereka saat pergi ke perpustakaan, memantau dari balik rak-rak buku.

Sesampainya di perpustakaan, aku berlari menuju rak buku disudut perpustakaan. Mengambil satu buku lalu menyembunyikan wajahku di baliknya dengan pura-pura membaca. Tidak ada hal aneh yang di lakukan Awan dan Ana, mereka hanya sekadar membaca dan sesekali terlihat menanyakan hal-hal yang tidak mereka pahami satu sama lain.

Saat tidak ada yang terjadi, aku duduk di lantai. Bersandar pada rak buku lalu mencoba membaca buku yang ada pada tanganku.

Di sela-sela waktu membaca, seorang Gadis duduk di samping ku lalu bertanya "lagi baca apa?" sontak aku memandangnya.

Aku menunjukkan sampul buku tersebut yang langsung bertuliskan judul buku, ia mengangguk. "Buku itu susah di pahami," katanya lagi.

"Benarkah?" aku menatapnya tak percaya lalu mulai membuka halaman-halaman buku tersebut, semua berbahasa ingris. Aku terkejut.

"Kamu pasti sedang tidak membaca," tebaknya.

"Tidak, aku membaca kok," ucapku bohong.

Ia tersenyum, lalu berdiri mengambil sebuah buku "nih, lebih mudah dipahami," katanya.

Aku menerimanya. "Makasih," kataku.

Perlahan kubuka halaman- halaman buku itu hingga sampai pada sebuah halaman yang bertuliskan "Waktu hanya perihal menunggu, semakin kamu terluka semakin lama kamu menunggu."

Gadis itu menepuk pundakku lalu berkata. "Aku juga seperti kamu dulu, sembunyi di balik rak buku hanya untuk seorang Pria."

"Aku tidak sedang sembunyi," kataku bohong lagi.

Alih-alih berkomentar tentang kebohonganku, ia malah melanjutkan ucapannya "dan sekarang aku gak pernah ketemu dia lagi dan yang paling aku sesali kenapa aku harus sembunyi waktu itu, kenapa aku gak memberanikan diri bilang sama dia, aku suka dia," Gadis itu nampak sedih mengenang kisahnya.

"Kamu pasti bukan murid sekolah ini yah?" ujarku, yang tak mengenali wajahnya.

Ia mengangguk. "Aku alumni empat tahun lalu, dan sekarang aku lagi bernostalgia ke sekolah ini lagi," senyumnya kembali merekah.

Aku berdeham. Memandang kembali buku di tanganku. Membalik-balik halamannya sembari merenungi ucapan Gadis itu, bagaimana aku bisa bilang bahwa aku menyukai Awan sementara aku sendiri tidak tahu pasti apa aku benar benar menyukainya atau hanya sekadar iri atas kedekatannya dengan Ana.

"Masa-masa SMA memang seperti itu, banyak hubungan Remaja yang berakhir karena belum sama-sama dewasa, dan perlu diingat beberapa pengamalan dalam hidup hanya sebagai pelengkap bahwa kita benar-benar telah menjalani kehidupan," ujar Gadis itu lagi.

Aku menatapnya. Aku tidak ingin menjadikan Awan hanya sebagai pelengkap jalan ceritaku, aku ingin dia sebagai alur inti dan tujuan dari cerita ini dan hari ini di perpustakaan aku benar-benar menemukan perasaanku pada Pria itu, aku menginginkannya.

Beberapa saat kemudian, seseorang memanggil Gadis itu dari ujung rak buku, setelah berpamitan padaku ia pergi meninggalkan perpustakaan. Menyisakan aku yang masih terduduk di lantai perpustakaan.

Lonceng berbunyi, pertanda jam istirahat telah berakhir.

Aku akhirnya meminjam buku itu sementara, setelah meninggalkan perpustakaan lalu menuju kelas. Aku bertekat akan memberanikan diri, berbicara langsung kepada Awan untuk terakhir kali sebelum hari kelulusan.

 Aku bertekat akan memberanikan diri, berbicara langsung kepada Awan untuk terakhir kali sebelum hari kelulusan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang