Siklus Hati

385 32 2
                                    

"Dia berbeda, dia langka, dan dia istimewa karena aku mencintainya."

—Seiring berjalannya waktu kukira aku sudah lupa, ternyata aku hanya malu mengakuinya bahwa aku masih mencintainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—Seiring berjalannya waktu kukira aku sudah lupa, ternyata aku hanya malu mengakuinya bahwa aku masih mencintainya.

————————————————
Malam ini Siti tengah pergi menemui Dhito, bermaksud menagih janji Pria itu untuk mentraktirnya. Sebenarnya aku juga di ajak olehnya. Namun, karena aku tahu Siti menyukainya, jadi kubiarkan ia pergi sendiri. Setidaknya bisa di anggap sebagai usaha membahagiakan teman.

Aku tengah duduk di teras rumah malam ini, menikmati desiran angin malam yang sebenarnya dingin. Sembari membayangkan semua emosi yang tidak bisa ku curahkan. Semua rintihan yang tak bisa ku suarakan. Semua mengambang di hatiku, menusuk lalu menghilang. Semacam siklus menyakiti diri sendiri.

Malam-malam terasa semakin cepat hingga aku sampai pada malam ini, sudah setengah tahun selepas aku lulus SMA. Melihat penampilan Ana siang tadi, membuatku benar-benar kembali iri dengannya. Kenapa hidupnya bahagia? Kenapa dia sempurna? Dan kenapa dia berbeda denganku?...

Semua hanya perihal pertanyaan bodoh yang ujung-ujungnya di jawab oleh diriku sendiri, "tidak ada orang yang sempurna, pasti ada sesuatu yang kosong dari dirinya."

Tapi apa?

Aku mendongak. Bulan bersinar begitu terang di langit malam ini, seperti tengah menghina hatiku yang tengah temaram. Namun, setelah kuingat-ingat bulan juga pernah memberiku kenangan istimewa, bersama AWAN.

"Ah... kenapa mengingatnya lagi?" sontak aku memegang kepalaku. "Pasti karena bulan sialan itu," ujarku pada diriku.

KREAT...

Tiba-tiba saja pintu terbuka. Menampilkan sesosok Wanita tua. Maksudku Ibuku.

"Kamu bicara sama siapa?" tanyanya, menatap aneh padaku.

"Tidak pada siapa-siapa," mengedikkan bahu. "Hanya untuk menghibur diri sendiri," dalihku.

Alih-alih menerima alasan itu, Ibuku justru semakin memandang ngeri padaku. "Kamu sehatkan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. "Iya, sehat."

Ibuku mendekat satu langkah. "Maksud ibu kepalamu."

"Maksudnya?" tanyaku semakin tidak mengerti.

"Kamu ngak gila kan?"

"IBU... " rengekku kesal.

Sontak Ibuku tertawa. "Sudah ah, cepat masuk nanti masuk angin," titahnya, lalu masuk kembali ke dalam rumah.

AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang