Malam Bersamanya

700 87 32
                                    

"Segila apapun cinta tetap saja ia adalah rasa paling tak biasa yang pernah dimiliki olehku"

"Segila apapun cinta tetap saja ia adalah rasa paling tak biasa yang pernah dimiliki olehku"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Muti. ada telepon buat kamu," Ibuku berteriak dari ruang keluarga.

"Iya buk," balasku, segera keluar dari kamar.

"Siapa buk?" aku menatap wajah Ibuku yang nampak tengah kesal, entah karena apa? tapi mungkin karena aku tak membantunya memasak sore tadi.

"Mana ibuk tau," ibuku memberikan telepon itu, terlihat tidak ikhlas.

Aku menerimanya. Menatap wajah ibu yang kesal membuatku takut melakukan berbagai hal, bisa-bisa salah sedikit saja malamku akan terasa panjang dengan banyak omelan yang terus di lontarkan kepada ku. Memang tidak begitu serius namun tetap saja aku takut batin anak durhakaku akan meronta-ronta sepanjang malam.

"Halo, dengan siapa?" ucapku pada penelpon itu.

"Ini aku, Tia."

Suara itu terdengar tidak asing, rasanya baru kemarin orang ini menelponku. Menanyakan apa sudah makan, lagi ngapain dan pertanyaan tak berfaedah lainnya. Tapi bukan itu yang membuatku kesal melainkan orang ini juga yang telah membuatku frustasi seharian memikirkan tentang cara putus paling memalukan siang tadi, bahkan sampai membuatku galau sepanjang hari hingga membatu Ibu beberes rumah.

"Siapa ya?" Aku pura pura tidak mengenalinya. Rasanya akan memalukan jika ia mengetahui bahwa aku hafal suara serak miliknya.

"Ini Aku Tia, Awan."

"Oh kamu, ada apa?" ujarku.

"Kamu masih marah sama aku?"

Aku pura-pura tertawa. "Ngapain marah sama kamu, aku bahkan udah lupa sama kamu sejak tadi siang," kataku dengan nada congkak.

"Syukurlah kalau gitu. Aku boleh curhat sama kamu?"

Aku sedikit kaget. Bukannya apa apa setahuku jika orang sudah putus maka harusnya mereka tidak berhubungan lagi atau setidaknya menjaga jarak satu sama lain, dan pendapatku memang harusnya begitu.

"Memang ada apa?" tanyaku ketus, walau begitu aku sedikit khawatir dengannya apalagi dari nada bicaranya yang terdengar seperti sedang punya masalah.

"Aku di luar rumah kamu, bisa ketemu."

Aku terdiam sejenak. Kembali mengingat adegan putus kami tadi siang yang amat jelas bahkan sudah disaksikan pohon di pojok sekolah, dan jika aku bertemu dengannya malam ini, maka kejadian putus kami akan terkesan seperti rekayasa dan hanya pura-pura saja.

"Tia..."

"Ada apa?" ucapku semakin ketus.

"Kamu ngak mau ketemu aku."

Aku diam sejenak. "Memang nya kamu mau bicara apa?" tanyaku lagi, kali ini dengan suara lebih pelan.

"Harus banget ya, aku jelasin sekarang."

Aku menghela. "Ya udah aku keluar," kataku mengalah.

"Aku tunggu."

Setelah mematikan telepon, aku bergegas keluar. Saat aku membuka pintu kulihat Awan sudah duduk di atas sepedanya. Melambai kearahku.

"Naik," suruhnya.

Aku memandangnya dengan malas. "kita mau kemana?"

Ia memandangku antusias "Naik saja, aku ngak mau nyulik kamu kok."

Rasanya aku ingin menolak ajakannya, namun tidak tau bagaimana cara yang tepat dan tidak akan membuatku nampak seperti sengaja menghindarinya. Hingga sebuah ide melintas di kepalaku. "Tapi aku belum izin sama Ibu," ujarku menyayangkan.

"Kalau gitu, aku aja yang minta izin nya," pungkasnya lalu turun dari sepeda.

Aku memandangnya semakin tidak percaya. "Ngak usah, biar aku aja," tolakku, bisa-bisa aku kena semprot satu bulan jika ketahuan berpacaran.

"Bu, Tia pergi dulu ke rumah Siti," teriakku dari luar.

"Iya, pulangnya jangan kemalaman," balas ibuku dari dalam dengan suara tak kalah keras.

Awan nampak bingung "kenapa ngak masuk dulu aja kedalam?" tanyanya. Menaiki kembali sepedanya.

"Kelamaan," sungutku kesal.

Aku menaiki sepeda itu. Duduk menyamping sambil berpegangan pada pinggangnya. "Cepat deh," desakku.

"Iya sabar."

Sepanjang perjalanan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali bertanya tentang kemana tujuan kami malam ini dan ia hanya menjawab "sabar, sebentar lagi sampai," terdengar menyebalkan bagiku.

Sekitar lima belas menit berlalu, kami akhirnya berhenti disebuah jembatan pembatas desa. Di bawahnya mengalir air sungai yang cukup deras dan jika di lihat keatas, malam ini langit terlihat cukup indah dengan bintang yang berserak serta bulan yang melingkar sempurna memancarkan cahaya yang sukses membuat malam terlihat lebih cerah dari malam-malam sebelumnya.

Aku berdecak kagum. Berjalan menuju pembatas jembatan. Mendongak sambil tersenyum. "Indah banget."

Awan berdiri di sampingku, alih alih menatap langit, ia malah melirik kearahku. "Iya, indah."

Mendengar itu sontak aku menoleh kearah nya. Sedikit salah tingkah namun tetap bisa kukendalikan dengan sungutan kesalku. "Ngapain liat-liat?" menatapnya sinis.

Ia beralih menatap langit sambil tersenyum. "Jangan galak-galak, cepat tua nanti," ujarnya. Mencoba meledekku.

Aku tak menghiraukan ledekan itu, kembali menatap langit.

"Kamu tau ngak Ita?" ujarnya tiba-tiba.

"Tau apa?"

"Aku suka bulan," katanya.

"Aku enggak," jawabku cuek.

Ia beralih menatapku. "Kalau gitu kamu sukanya apa?" tanyanya.

Aku balik menatapnya. Mata Pria itu terlihat antusias, menantikan jawabanku hingga dengan mudah aku bercelatuk. "Suka Saturnus."

Ia tersenyum. "Kalau gitu mari sama-sama ubah kesukaan kita," ajaknya.

"Maksud mu?" tanyaku tak mengerti.

"Iya, biar kesukaan kita jadi sama."

"Jadi apa?"

"Mari sama sama menyukai bumi, tempat kita bertemu. Alih- alih menyukai bulan atau Saturnus yang jelas-jelas tidak akan pernah kita kunjungi." Ia tersenyum.

Aku terperangah dengan jawabannya, walau terdengar aneh tetap saja debaran jantungku tak bisa berbohong bahwa aku menyukainya.

Hingga tiba-tiba sebuah motor lewat sambil membunyikan klakson. Membuatku segera sadar bahwa dia adalah mantan.

"Ah... omong kosong," ucapku sambil buang muka. Mencoba menghilangkan kesaltingan yang seketika merayap di seluruh tubuh.

 Mencoba menghilangkan kesaltingan yang seketika merayap di seluruh tubuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung.....

AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang