Perpisahan

426 34 7
                                    

"Untuk rindu yang akan menjadi milikku."

Malam ini aku tidak bisa tidur, bukan karena kejadian tadi siang atau karena bentakan Pria itu melainkan perihal surat yang sengaja aku selipkan pada tas Awan pagi tadi, sebelum acara di mulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam ini aku tidak bisa tidur, bukan karena kejadian tadi siang atau karena bentakan Pria itu melainkan perihal surat yang sengaja aku selipkan pada tas Awan pagi tadi, sebelum acara di mulai.

Surat itu berisi sebuah pengakuan bahwa aku mencintai nya dan akan menunggunya di jembatan malam ini sebagai bentuk perpisahan. Entah Pria itu akan membacanya atau tidak, tapi kuharap jangan. Setelah kejadian tadi siang rasanya aku sudah kehilangan mood untuk bertemu dengannya lagi.

"Tapi bagaimana jika ia membacanya." Aku menggerutu kepanasan. Menyayangkan tindakan ku itu, kenapa Aku harus begitu lebay hingga mengiriminya surat.

Aku berjalan bolak-balik di dalam kamar sambil terus menggaruk kepalaku yang gatal, bukan karena kutu atau ketombe, tapi karena memikirkan bagaimana jika ia membacanya dan tengah menungguku di jembatan.

"Tidak mungkin." Aku membantah pikiran itu. Karena sangat tidak mungkin setelah kejadian tadi siang, ia masih berani menemuiku.

Namun mendadak otakku kembali mengingatkan pada kebodohan-kebodohan yang pernah Pria itu lakukan, dan bukanlah perkara mustahil jika kebodohan itu mendadak kumat malam ini, hingga ia menungguku di jembatan.

"Bagaimana ini... " gerutuku kesal.

Di tengah-tengah kebingungan itu, terdengar suara Ibuku yang menggelegar, memanggilku dari dapur. "Tia, keluar. Bantu Ibu."

"Iya." Teriakku balik. Mencoba menghalau segala pikirin buruk tentang surat itu atau tentang Pria laknat tersebut.

Sesampainya di dapur, kulihat ibuku tengah menyiapkan bahan-bahan untuk berjualan pecal besok pagi, disalah satu pasar yang tidak jauh dari kampung. Ibuku memang terkadang melakukan pekerjaan itu untuk menambah-nambah penghasilan Ayahku, bukan karena tidak cukup tapi Ibuku cenderung menggerutu kepanasan jika hanya berdiam diri di rumah sepanjang hari.

"Cuci sayuran-sayuran itu dulu." Ibu menunjuk sebuah baskom berisi sayuran di atas meja. Aku berjalan kearahnya mulai melakukan tugas yang diberikan padaku.

Tanganku terus menyiram sayuran sambil menggosoknya pelan. Membersihkan kotoran kotoran yang menempel. Sayuran bersih dari kotoran tapi pikiranku terus saja menempel pikiran-pikiran kotor tentang Awan, jika bisa hilang dengan disiram mungkin aku akan segera melakukannya.

Malam semakin larut dan pekerjaanku masih tak kunjung selesai. Seusai membersihkan sayuran aku menyiapkan beberapa bahan lagi dan bukan hanya itu aku juga harus mencuci semua piring kotor yang telah terpakai malam ini. Sesekali aku melirik jam. Walau mencoba acuh tetap saja pikiranku mengacu pada Pria itu.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih, aku masih dengan pekerjaanku. Mencuci piring. Semua kulakukan asalkan bisa lupa dengannya. Suara air pencuci piring terus saja mengingatkanku pada derasnya arus sungai di jembatan.

AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang