Di penghujung tahun. Desa nampak begitu ramai dengan orang-orang yang tengah menghabiskan masa liburan akhir tahun di kampung. Aku selalu berpikir kenapa hanya aku yang tidak pernah mudik, tidak pernah berkunjung ke tempat dimana aku merasa istimewa sebagai tamu yang selalu dirajakan, hingga kenyataan menamparku bahwa aku lahir di kampung tempat kakek dan kakek-kakek terdahulu ku tinggal dan bukan hanya itu fakta yang paling tragis adalah aku tidak merantau ke kota seperti anak-anak seumuranku atau minimal menikah seperti teman-teman Perempuanku yang lain.
Aku berjalan di tepi jalan raya sore itu. Langkah kaki yang lambat serta pandangan mata yang mengarah pada Gadis yang tengah sibuk membicarakan hal- hal yang tidak penting yang jika didengarkan semakin lama akan terdengar semakin ngawur dan semakin tidak masuk akal.
"Kenapa tidak ada laki-laki yang melamarku?" ia menatap gerombolan Pria yang baru pulang dari kota, tengah berkumpul di salah-satu warung kopi di tepi jalan. Mereka terdengar membicarakan seputar pekerjaannya di kota.
Aku berhenti. Menatapnya dengan raut sedih. "Kenapa tidak kau saja yang melamar mereka," ujarku asal.
Siti beralih menatapku. "Kau yakin bakal di terima," ujarnya yang malah menanggapinya dengan serius.
Aku menghela. "Bercanda Siti," ujarku menyerah. Bergurau disaat seperti ini memang sebuah kesalahan, apalagi bersama Siti.
Langit sore nampak mulai memerah. Dan dari kejauhan sebuah mobil berwarna hitam nampak mendekat ke arah kami.
"Itu mobilmu Siti?" tanyaku, beralih menatapnya.Siti nampak kebingungan. "Perasaan Ayahku gak beli mobil deh." Menggaruk kepalanya.
"Berarti bukan!" sahutku kesal.
Mobil itu menepi tepat di samping kami. Aku dan Siti saling tatap beberapa saat hingga kaca mobil perlahan turun. Menampakkan Gadis cantik dengan rambut yang bergelombang, Itu Ana.
Sesaat mataku melongo melihat penampilan Gadis itu yang nampak berubah seratus delapan puluh derajat. Kini ia nampak seperti gadis-gadis yang sering wara-wiri di televisi.
Ana melepas kacamatanya. Menyapa kami sambil tersenyum."Hai, lagi mau kemana?" tanyanya. Mengeluarkan setengah kepala dari jendela mobil.
Aku tersenyum. "Ke depan." Menunjuk ke arah ujung jalan yang nampak masih jauh.
"Ikut sama aku aja!" ajaknya.
Sontak aku memandang Siti, bermaksud meminta pendapatnya, dan respond Gadis itu nampak antusias, terlihat dari senyum yang mengembang dan kepala yang mengangguk.
Kami akhirnya menaiki mobil itu. Aku duduk di depan bersama Ana yang menyetir, dan Siti duduk di belakang. Menatap ke arah luar jendela.
"Bagaimana kuliahmu?" tanyaku pada Ana.
Ia tersenyum. "Baik," ujarnya sembari Memandangku sekilas.
"Apa kau senang tinggal di kota?" tanyaku penasaran.
"Tentu, di sana segalanya tersedia."
Aku mengangguk. Sesekali memandang wajah Gadis itu, ada sebuah pertanyaan yang dari tadi enggan kuucapkan. Hingga dari belakang Siti menyahut, seolah tahu isi hatiku.
"Kalau Awan bagaimana?" Siti memandangku sekilas lalu tersenyum.
"Awan? aku ngak pernah ketemu dia di kampus. Kayaknya dia memang enggak kuliah di sana," ujarnya tidak yakin.
Siti memandangku lagi. Mengedikkan matanya, seolah memberi pertanyaan.
"Bagaimana tidak disana padahal Awan pernah cerita bahwa dia sudah memulai kuliahnya di tempat itu," tanyaku bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN
Teen Fiction1) Jika waktu bisa di putar, dan aku bertemu lagi denganmu di masa lalu, maka kuputuskan untuk mencintaimu lagi... 2) Kamu adalah rencana paling tak terduga yang datang padaku, entah itu rencana terluka atau rencana untuk bahagia... 3) Kaidah 'Cint...