Bagian 1

350 22 6
                                    

Seutas senyum simpul terukir manis di bibir tebal milik Bintang. Suara yang tidak asing menyeruak ke indera pendengarannya. Tidak ramah dan cenderung marah-marah. Siapa lagi kalau bukan Langit. Bagaikan sebuah alergi yang kambuh kapan saja, Langit selalu meninggikan suara dengan nada tidak suka miliknya setiap kali mendengar nama Bintang disebut.

Tak selayaknya langit yang merindukan bintang pada umumnya, mereka lebih mirip magnet dengan kutub yang sama. Menolak dan saling menjauh. Bukan Bintang yang melakukan itu, melainkan Langit.

Sejak hari itu terjadi. Langit telah memudarkan warnanya. Menatap benci ke arah Bintang seperti tidak pernah mengenal. Asing. Bintang telah kehilangan langitnya.

***

(Jakarta, 2013)

Bintang duduk sembari menundukan kepalanya. Jari-jemarinya tertaut, mengusap saling menenangkan hati yang gusar. Alunan nada tinggi menerobos masuk indera pendengarannya. Menyayat begitu dalam relung hatinya. Sejak hari itu ada luka yang akan membekas walau ada obatnya.

“Pa! Langit gak mau dijodohin!! Langit bukan anak kampungan yang main langsung dijodoh-jodohin seenak Papa!! Langit juga punya hak!!”

“Acara besok, Kamu gak ada alasan untuk menolak.”

“Papa!!!”

“Lagipula Kamu kan dijodohinnya sama Bintang. Rasanya gak ada alasan yang pas buat nolak Bintang.”

Laki-laki jangkung itu mengusap wajahnya kasar. Semua kalimatnya tercekat di tenggorokannya. Tatapan tajam menusuk sosok laki-laki mungil yang tengah duduk dengan gusar di kursi di hadapannya.

“Heh, lo ngomong goblok! Lo mau dijodohin sama gue?”

“LANGIT!!!”

“Terserah Papa. Langit gak peduli.”

Langit berlalu pergi. Tidak lupa suara hantaman keras benturan pintu kamar yang dibanting.

“Bintang, gimana?”

“Gak apa-apa kok, Om. Bintang bakal nunggu. Lagipula ini kan permintaan terakhir tante. Semoga tante bahagia disana.”

***

(Jakarta, 2016)

“Masih gak mau ya, Om?” Bintang menarik kursi meja makan dan duduk memandang sosok pria paruh baya di seberangnya yang kini tersenyum seraya mengangguk.

“Kan udah Bintang bilang, Langit gak akan mau. Lagipula Bintang bisa kok sekos sama Nata. Malah Nata yang ngajak Bintang buat sekos. Jadi Om gak usah khawatir.”

Pria di hadapannya tertunduk lesu. Wajahnya teduh dengan guratan-guratan halus yang mulai tampak di sekitar matanya yang sayu. Keluarga Bintang sangat mengenalnya. Khususnya Bintang, karena bersama pria inilah Bintang tinggal sekarang setelah ayahnya dikirim bertugas menjadi duta besar Indonesia untuk Finlandia dan akhirnya pindah ke sana. Bintang yang masih meneruskan pendidikannya tetap memilih tinggal bersama keluarga Langit. Benar, pria ini adalah ayah Langit.

Bisa terbayangkan seakrab apa mereka dulu?

Langit adalah orang terdekat Bintang—sebelum pertunangan itu terjadi, sebagaimana saat malam tiba. Bagai langit senja yang hangat, senyum itu tidak pernah terhapus saat menatap Bintang. Namun semuanya berubah. Langit bukanlah Langit yang dulu pernah dia kenal.

“Maafin Om ya, Bin. Ternyata Langit belum berubah.”

Bintang segera menggeleng. Dia tidak pernah menyalahkan pria ini. Apalagi harus bertanggung jawab atas sikap Langit padanya. Bintang tidak pernah terpaksa melakukan ini semua dan dia tidak pernah menyesal.
“Kenapa Om yang minta maaf? Kan itu keputusan Langit. Bintang menghargai keputusannya kok. Om gak usah seperti ini.”

“Ini sudah tiga tahun, Bin. Om kira akan ada perubahan. Taunya tetep marah-marah.”

“Kenapa Om kaget sih? Langit kan memang begitu kalo Om ngebahas tentang Bintang. Udah gak usah dipikirin. Nanti Bintang bilang ke Nata kalo Bintang jadi ngekos sama dia.”

“Nitip Langit ya, Bin.”

“Pasti Om.”

***

“Jadi sekos?”

“Jadi.”

“Apa gue bilang? Si aki-aki bau balsem itu gak akan mau.”

“Bintang udah bilang kok ke Om. Tapi Om gak mau dengerin. Ya udah deh, Bintang biarin aja. By the way namanya Langit, Na”

Namanya Nataya Tanggara. Badannya tinggi dengan tulang berbalut daging yang keras. Dia sangat menyukai makanan, terutama dessert. Keluarganya adalah salah satu keluarga dokter ternama di Indonesia. Kakeknya bahkan pernah menjabat sebagai menteri kesehatan untuk satu periode pemerintahan. Ayahnya juga pernah menjabat sebagai ketua IDI—Ikatan Dokter Indonesia. Semua latar belakang itu membuat Nata mau tidak mau harus menempuh pendidikan dokter seperti pendahulunya. Aneh rasanya kalau hanya dirinya sendiri yang melenceng dari jalur. Padahal sebenarnya dia sangat ingin menjadi seorang pastry chef profesional. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar dirinya bisa membuat dan memakan dessert sesuka hatinya.

Nata mengenal Bintang sejak hari pertama MOS SMP. Wajah cantik Bintang yang dihiasi senyuman teduh menyapanya dengan ramah. Mengajak kenalan tanpa malu-malu. Saat itu dia terus terpana, bagaimana ada laki-laki secantik ini? Bahkan sampai sekarang pun Nata masih heran akan hal ini.

Jika Nata mengenal Bintang, tentu saja dia juga mengenal Langit, mereka sepaket. Saat awal pertemuan dia dengan Bintang, Langit sosok yang begitu hangat. Dia menjaga Bintang seakan di sekitar Bintang semuanya memiliki niat jahat. Dia terus menemaninya sampai si kecil mendapatkan teman terbaiknya.

Semua berubah semenjak Bintang dan Langit bertunangan. Nata tidak lagi melihat sosok Langit sehangat dulu. Bahkan sepertinya kali ini Langitlah yang memiliki niat jahat pada Bintang. Menatap Bintang saja seperti kuman yang menjijikkan. Nata hafal sekali tabiat Langit. Dia sudah muak. Jika bukan karena Bintang, mungkin Nata sudah menghajarnya habis-habisan.

“Kenapa lo gak ikut bokap nyokap lo sih?Gak bosen lo ngurusin aki-aki bau balsem?”

“Namanya Langit, Nata.”

“Bodo amat. Males gue nyebut namanya.”

“Kan udah Bintang jelasin sebelumnya, kenapa Bintang bertahan sama Langit.”

“Iye, iye, gue udah hafal. Karena Mama si aki-aki nitipin dia ke lo. Hatam gue bagian ini.”

Bintang hanya tersenyum simpul seraya menggeleng melihat wajah kesal sahabatnya itu. Bukan sekali dua kali Bintang mendengarnya mengomel masalah Langit. Semua sumpah serapah sudah didengar Bintang. Nata menjadi pendengar nomor satunya. Dia berada di hampir semua fase kehidupan Bintang sekarang, fase tertinggi maupun terendah.

“Sekarang gue tanya, mau sampe kapan lo begini?”

Pertanyaan yang sebenarnya tidak hanya Nata saja yang penasaran akan jawabannya, Bintang pun sama.

Sampai kapan dia akan begini?

Apa dia tidak lelah menunggu sebuah ketidakpastian? Atau jangan-jangan dia yang tidak pernah mau menerima kepastian itu sendiri. Kepastian kalau sebenarnya Langit tidak akan pernah menerima dirinya.

Bentang angkasa langit senja, menyelimuti bumi dengan ujung bintang yang bercahaya. Ufuk barat berwarna jingga menambah nuasa sendu di akhir cerita, apakah sudah saatnya dia menutup mata dan mengucapkan salam terakhirnya?

Bintang menggeleng.

“Bintang gak tau, Na.”

“Bintang, lo berhak bahagia. Lo gak harus terjebak sama dia doang.”

Bintang menunduk sejenak, memfokuskan tatapannya pada jari-jemarinya sampai akhirnya kembali mendongakkan kepala menatap Nata.

“Tapi nyatanya Langit tempat terbaik untuk Bintang, Na. Cuma Langit yang bisa menampung Bintang.”

-tbc-

Tolong tinggalkan komentar
💚💚💚

Bintang di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang