Nata menggerutu dan menghentak kaki, tak sabar bercampur kesal karena Langit tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Terik matahari semakin menusuk pori-pori kulit. Embusan udara yang menerpa wajahnya tak lagi berasa menyejukkan melainkan seperti uap panas.
Hampir satu jam Nata dan Bintang berdiri seraya menggenggam koper Bintang di samping mobil Langit. Menunggu kedatangan si empunya yang tak kunjung nampak di hadapan. Hari ini memang Bintang akan pindahan menuju kontrakan Langit dengan bantuan Nata. Nata memang benci Langit, tapi jika menyangkut Bintang dia akan memasang badan, menjaga sahabat kecilnya. Otak Nata sudah membuat skenario jika Langit sedikit saja bersikap menyebalkan dia akan membakar kontrakan aki-aki tua itu.
"Lo udah chat si aki-aki belum sih? Gila ya? Ini udah hampir satu jam gue nungguin di parkiran."
"Sabar, Na. Bintang udah chat Langit kok. Kata Langit bentar lagi otw."
"Otw dari mana sih? Dari Hongkong? Lama amat? Tau gini kita tunggu di kantin."
"Ini Bintang chat Langit lagi."
"Badan aja bongsor, gak ada gunanya."
Nata memutar mata. Menarik napas dalam-dalam sebelum memutar badan mengarah pada sumber suara yang tidak lain dan tidak bukan adalah Langit. Kakak tingkatnya itu kini berjalan santai dengan wajah tanpa dosanya.
"Gue gak paham bahasa binatang. Gue pahamnya bahasa manusia."
"Gue juga baru tau ada dugong bisa ngomong. Apalagi bisa hidup di darat. Harusnya lo masuk seaworld gak sih?"
Bintang mundur secara perlahan. Kepalanya sudah pening mendengar dua orang di hadapannya saling meninggikan suara. Langit dan Nata memang tidak pernah melewatkan sesi bertengkar. Kadang karena terlalu khidmat dalam bertengkar mereka tidak sadar Bintang telah berlalu pergi.
"Misi, sampai kapan Langit sama Nata mau bertengkar? Langit sama Nata sudah jadi tontonan setiap mahasiswa yang lewat loh? Kalo bertengkar terus kapan berangkatnya?"
"Gue ogah bawa dugong di mobil, gue. Mobil gue cuma muat Bintang."
"Enggak, Bintang bareng gue. Mana bisa setan gabung sama malaikat?"
"Kan ke kontrakan gue, kenapa lo yang ngatur? Serah gue dong."
"Bintang naik ojol aja ya kalo kalian masih tengkar begini."
"ENGGAK!" Teriak Langit dan Nata serempak membuat Bintang terhentak kaget.
"Dugong, lo yang bawa koper-koper Bintang. Bintang bareng gue. Gak ada bantahan atau lo gak usah ikut sekalian."
Nata menatap bengis ke arah Langit yang sudah acuh. Langit lebih memilih sibuk membukakan pintu mobilnya untuk Bintang. Namun Bintang masih terdiam berusaha tenang mencerna kejadian sekarang. Hingga helaan napas darinya menjadi tanda jika dia telah mendapatkan jalan keluar.
"Langit, Bintang bareng Nata ya? Semua koper ini kan lebih deket ke mobil Langit dibanding sama mobil Nata. Kasian kalo Nata harus bawa-bawa lagi ke mobilnya. Nanti ketemuan di rumah Langit aja. Langit kirim lokasinya aja ke Bintang."
Nata tersenyum miring merasa menang sekarang. Berbeda dengan Langit yang mendengus kesal membanting pintu mobilnya.
"Ngapain lo bawa dugong sih? Gue bisa ngurusin ini semua."
"Serah Bintanglah. Malah bagus kalo lo bisa dikasih tanggung jawab menyangkut Bintang. Tapi sejauh ini track record lo jelek kalo tentang dia. Mana percaya gue sama setan kayak lo."
Bintang tetap gagal menghentikan pertikaian dua manusia ini. Bintang sepertinya salah mengambil keputusan mengenai kepindahannya. Seharusnya dia pindah saat mobil miliknya tiba di Surabaya, sehingga tidak merepotkan siapapun.
"Oke, jika Langit dan Nata tidak ada yang mau mengalah, Nata bisa ikut mobil Langit dan Bintang bawa mobil Nata. Lanjutkan saja pertengkarannya di dalam mobil."
Bintang meraih dua kopernya sekaligus dan menyeretnya menuju mobil Nata. Kebetulan kunci mobil sahabatnya ada pada dirinya. Langit dan Nata panik, serentak mereka segera berlari menyusul kecilnya.
"Bintang, gue ngalah. Oke, gue yang bawa kopernya. Lo bisa sama Nata."
"Iya, Bin. Ayo kita berangkat. Jangan ngambek ya. Janji gak akan tengkar sama aki-aki bau balsem ini."
Bintang berhenti dan segera menyerahkan dua kopernya pada Langit. Tak lupa senyumnya disertai ucapan terima kasih pada tunangannya itu. Nata dan Langit lantas bernapas lega. Mereka segera berpisah sesuai dengan intrupsi Bintang sebelumnya.
Sampainya Nata dan Bintang di mobil, Nata senpat terdiam. Merasa aneh dengan sikap Langit sekarang. Apa yang dikatakan Bintang tempo hari dan apa yang terjadi hari ini seakan menumbuhkan sedikit rasa percaya.
Langit dahulu begitu muram seperti mendung disertai petir. Gelapnya tak pernah ditembus oleh sinar mentari. Gerimis membasahi pipi bersama rasa sakit yang tiada henti.
Hari ini bintang sedikit menyibaknya. Menyampaikan ketika sinarnya yang buram memberi cahaya. Apakah pelangi sedang menyusun warnanya sekarang? Agar terbentang setelah badai menerpa.
Nata tak pernah bisa mengerti kemana arah cerita ini akan bermuara. Dua lakon akan bergerak ke arah mana. Akankah dua insan manusia ini bertemu di satu titik bahagia, ataukah ahanya harapan semu semata.
Sebuah keajaiban melihat tingkah Langit hari ini. Beberapa tahun Nata lewati dengan rasa amarah yang bertumpuk dalam hati. Tangannya yang terus mengepal kala nama tunangan Bintang disebutkan kini mulai melonggar. Nata memang selalu luluh dan tidak sampai hati melihat Bintang bersedih. Hari ini dia akhirnya melihat sendiri untuk pertama kali rasa peduli Langit membuat sahabat kecilnya tak berhenti tersenyum.
"Lo yakin tuh aki-aki udah bener? Gue masih gak yakin."
"Yakin kok, Na. Nata liat sendirikan tadi Langit maksa Nata buat biarin Bintang semobil sama Langit."
"Tapi kan gak menjamin kelakuan setannya bakal berubah."
"Kalo dibandingkan beberapa tahun lalu, tentu ini kemajuan pesat Na. Emang Nata pernah bayangin Langit jadi seperti sekarang?"
Nata hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Maka dari itu setidaknya kasih Langit kesempatan."
"Kesempatan gue lebih mahal sekarang. Gue udah membuang semua kesempatan gue cuma karena lo yang bujuk dan akhirnya zonk. Sekarang gue bisa liat sendiri kelakuan dia. Gue emang ragu, tapi sesuai perkataan lo barusan, kelakuan dia kali ini perubahannya yang paling signifikan. Kesempatan ini gue kasih untuk terakhir. Bener-bener terakhir, Bin. Sabar gue gak seluas lo. Gue udah nahan semua emosi gue selama bertahun-tahun. Jadi kalo sampe kesempatan ini pun hancur, gue gak akan mempertimbangkan lo lagi dalam ngambil keputusan buat nonjok dia. Mati pun gue gak akan peduli."
Bintang tahu berapa tahun Nata mentoleransi semua perlakuan Langit padanya. Wajar menurut Bintang jika Nata semarah sekarang. Kalaupun akhirnya semua ini ternyata sia-sia, pun Bintang bisa apa. Sesuai perkataan Nata, kali ini Bintang menaruh harapan yang paling besar. Sudah sampai di titik penghabisan. Jika Langit menghancurkan, mungkin Bintang akan memilih menyerah pada akhirnya.
"Gak cuma Nata, Bintang pun mungkin akan menyerah kalau itu sampai terjadi."
-tbc-
💚💚💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Langit Senja
أدب الهواةLangit tak sehangat jingga. Tidak ada bintang di langit senja. Cahayanya tidak bisa merengkuh gelapnya angkasa. Indah yang hanya sebuah fatamorgana. Awan-awan mulai mengabu, menutup pandangan menuju dirimu. Seucap pesan membawa bintang menuju perjal...