Bagian 4

122 19 4
                                    

Bintang memutar badan, mematutkan penampilan berhadapan dengan cermin. Bibirnya tertarik ke atas menggambar senyum. Kali pertama dan bagaikan sebuah mimpi tatkala ajakan Langit sampai di ruang pesan singkatnya. Jika saja tuxedo bisa menjadi pilihanm mungkin Bintang akan memakainya karena hari ini begitu istimewa.

Nata hanya bersidekap memandangi dari ambang pintu kamar. Sesekali menggeleng karena melihat Bintang yang sudah bercermin hampir satu jam. Ralat. Bintang sudah bercermin sejak setibanya mereka di kosan. Mengobrak-abrik isi koper hanya untuk mencari pakaian terbaik. Padahal menurut Nata semua pakaian Bintang tidak ada yang gagal.

"Gak capek lo gonta ganti terus? Lo kan cuma diajak beli perlekapan OSPEK. Pake baju yang kasual aja."

Bintang menoleh, kembali tersenyum.

"Tapi bareng Langit."

Nata rindu kala Bintang tersenyum bahagia. Termenung dalam duka begitu menyakiti hatinya. Langit lupa kalau Bintang kecilnya pernah memberi hangat dalam lelahnya dunia yang fana. Jika hari ini rintik hujan akan turun menyamarkan air mata—memburamkan luka setidaknya Nata sempat melihat hangatnya senyuman Bintang.

"Emang lo janjian jam berapa sama si aki-aki?"

"Langit Na! Namanya Langit!" Cemberut Bintang menggelembungkan pipinya.

"Iya deh, si Langit jemput lo jam berapa?"

"Jam setengah tujuh sih. Bentar lagi. Apa Bintang telepon aja ya? Tapi takut ganggu Langit."

"Telepon aja kali. Gue nih agak skeptis si aki-aki jadi baik begitu."

"Emang boleh ya telepon Langit? Gimana kalo Langit lagi ada di perjalanan?"

"Siniin hp lo. Gue aja yang telepon."

"Oke, oke, oke. Bintang aja yang chat."

"Jangan chatlah. Mending langsung telepon."

Bintang menarik napas. Mendudukkan diri di pinggiran kasur mencari tempat nyaman sebelum hatinya terguncang mendengar jawaban tunangannya.

Jaringa lihai mengusap layar gadget menekan nama Langit dan langsung menyambungkan teleponnya. Suara deringan berpacu dengan degup jantung yang semakin kencang.

"Kenapa?"

"Langit..."

"Kenapa lo telepon gue?"

"Langit jadi nganterin Bintang nyari keperluan OSPEK?"

Hening. Nata mengangkat sebelah alis—meminta penjelasan dari Bintang yang masih diam tanpa jawaban. Raut wajah datar tidak memberi keterangan apapun.

"Tunggu, gue udah masuk gang kosan lo."

"Bintang tunggu depan kosan ya. Biar Langit gak nungguin terlalu lama."

"Iya."

Nata dan Bintang menghela napas bersamaan dengan terputusnya sambungan telepon Langit. Bintang bergegas segera mengambil tas kecil memasukan dompet dan telepon genggamnya, segera memakai sepatu. Tidak lupa mengecek penampilannya untuk terakhir kali.

"Untung jadi. Kalo enggak, gue samperin kontrakan si aki-aki, gue hajar beneran."

"Jangan galak-galak, nanti pipi Nata cepet kendor." Cubitan kecil mendarat di pipi Nata.

"Kalo lo ada apa-apa langsung hubungi gue cil. Masukin nomer gue di kontak darurat lo."

"Aye-aye kapten. Nomer satu untuk Nataya Tanggara." Bintang menyatukan jari telunjuk dan jempolnya memeragakan bentuk hati kekinian.

Bintang di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang