Pedal rem terinjak menghentikan laju mobil tepat depan bangunan dengan pagar bercat putih. Malam larut dengan kelip bintang di angkasa. Langit diam, pun Bintang juga. Tak ada alunan musik yang memecah keheningan. Hingga seutas kalimat Langit sampaikan yang berhasil meluruhkan seluruh harapan.
"Tanpa gue jelasin pasti lo tahu kenapa gue ngelakuin ini hari ini."
Bintang mengangguk seraya tersenyum. Semua sangat jelas, tidak mungkin seorang Langit akan dengan senang hati mengajaknya berbelanja. Kalau kata Nata mungkin Langit sedang kesurupan.
"Semua hal yang gue lakuin cuma karena papa. Gue gak sekuat lo yang bisa menata semua rasa sakit yang gue kasih ke lo dengan baik. Lo itu luka buat gue, Bin. Lo dan ingatan itu selalu terputar jelas di ingatan gue."
Begitu mencekik saat kata luka disebutkan. Kenangan yang berulang menyayat luka itu semakin dalam dan semuanya karena Bintang. Bintang telah disematkan dengan semua kata kebecian.
Mungkin pelukan tidak lagi senyaman dulu saat tawa masih menyelimuti keduanya. Kini Bintang seperti menghujami Langit dengan ratusan pisau yang ditusuk berulang kali. Bagaimana bisa menyusunnya kembali?
"Gue bersyukur lo memaklumi itu. Gue cuma berharap selama kita di kampus atau dimana pun, lo anggep gue orang asing seperti biasa. Gue terserah lo mau pake cincin itu atau enggak, yang pasti gue gak akan pake. Lo urusin kehidupan lo dan begitu pun gue."
Bintang mengerti tanpa semua penjelasan ini. Apa yang Bintang harapkan memangnya? Naif.
"Langit, Bintang minta maaf untuk semuanya. Terima kasih untuk hari ini. Ini jauh lebih dari cukup buat Bintang. Seperti kata Bintang tadi, Langit gak usah khawatir. Permisi."
Langit menarik napas dalam. Tak kalah sesak saat bibirnya mengucap semua kalimat barusan. Kembali, Langit membiarkan Bintangnya jatuh menghantam bumi.
***
Bintang berpencar dari Nata yang sudah bergabung dengan maba fakultas kedokteran. Bintang masih mencari maba nametag dengan bentuk bunga simetris. Hingga seorang bertumbuh jangkung berdiri tepat di hadapannya. Lantas tangan Bintang menepuk pelan lengannya.
"Permisi, apa benar disini FISIP?"
Laki laki itu langsung mengangguk. Tangannya menjulur, berniat bersalaman. Bibirnya melukis senyum hangat. Suaranya lugas menyebut nama lengkap.
"Perkenalkan namaku Tranggana Lintang. Kamu boleh memanggilku Gana."
Bintang mengerjapkan mata, menatap tak percaya. Tidak lama dia langsung membalas jabatan tangan teman pertamanya di universitas.
"Bintang Umbara Bumi. Asal Jakarta. Boleh manggil Bintang. Maaf kalau logat Bintang terdengar sombong. Sekali lagi maaf karena Bintang masih perlu beradaptasi dengan panggilan aku kamu."
Makhluk apa ini? Tuhan memahat wajahnya begitu menggemaskan. Apakah ini wujud dari kebahagiaan Tuhan? Dia begitu indah. Gana tidak percaya ada makhluk seperti ini disini. Pantasnya makhluk ini ada di nirwana bergabung dengan bidadara lainnya.
Nada suara Bintang menggema mengisi pikiran Gana. Tambah menggemaskan kala Bintang selalu menyebutkan namanya alih-alih menggunakan gue-lo khas anak Jakarta.
"Gana? Apa ada yang salah sama Bintang?"
"Kamu gemesin. Boleh cubit pipi gak?"
Bintang tertawa. Mendapatkan pertanyaan spontan dengan topik yang tak terduga. Tapi bukan hal baru lagi bagi Bintang jika ada yang bilang kalau dirinya menggemaskan. Namun baru Gana saja yang langsung meminta untuk mencubit pipinya.
"Aduh sorry-sorry, bukan maksud aku sok akrab gini. Annoying banget ya aku?"
"Enggak kok. Bintang seneng dapet temen baru. Btw, Gana jurusan apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Langit Senja
FanfictionLangit tak sehangat jingga. Tidak ada bintang di langit senja. Cahayanya tidak bisa merengkuh gelapnya angkasa. Indah yang hanya sebuah fatamorgana. Awan-awan mulai mengabu, menutup pandangan menuju dirimu. Seucap pesan membawa bintang menuju perjal...