Sambutan-sambutan telah dilaksanakan. Pembukaan telah usai. Kini acara diambil alih Arjuna Wajendra dan Aliesha Tahsina. Suara keduanya menggema disambut sorak-sorai seluruh peserta OSPEK pada pagi hari itu.
Agenda mereka selanjutnya yaitu pembuatan jargon dan yel-yel untuk setiap fakultas. Jargon dan yel-yel itu akan digunakan selama berlangsungnya OSPEK kampus. Waktu yang diberikan cukup singkat hanya 30 menit.
Fakultas Ilmu SoSial dan Politik menjadi bintang hari ini akibat pengaruh si mungil Bintang Umbara Bumi. Kilatan cahaya memusatkan seluruh atensi padanya. Bibir, senyum, tawa, dan lesung pipi, semua hal itu membuat para mahasiswa baru ataupun lama berdecak kagum. Lincah geraknya, lompat sana, lompat sini sangat menggemaskan.
Tidak perlu waktu lama bagi mahasiswa FISIP untuk menyelesaikan tugas ini. Mereka mempunyai matahari, menggangguk siap dan mengerti perintah si kecil.
"Coba kenalan dulu sini-sini?" Aliesha gemas. Mengajak Bintang menaiki panggung seorang diri. Tak kalah riuh, semuanya menaruh kagum.
"Nama siapa sih, dek? Kamu kok lucu banget."
"Perkenalkan rekan-rekan. Nama Saya Bintang Umbara Bumi. Kalian bisa manggil Bintang. Jurusan Hubungan Internasional. Mohon bantuannya ya semua."
Layaknya menemukan harta karun, mahasiswa FISIP berteriak bangga. Mereka akan menjaga Bintang sebagai aset berharga fakultas mereka.
"Bintang ya panggilannya? Kamu cocok sih sama Presma kita. Nama kalian sama-sama estetik. Jodoh sih ini."
"Eh iya ya. Cocok nih sama Presma kita. Bintang dan...."
"Dek Bintang tau gak presma kita?"
Bintang mengangguk. Mana mungkin dia tidak tahu. Terlihat di sudut ruangan berdiri sosok itu seraya terus memperhatikan Bintang dengan raut wajah datar.
"Loh kok tahu presma kita? Padahal belum muncul ke khalayak umum."
Jelas Bintang tahu. Presiden mahasiswa mereka adalah tunangannya. Namun tidak mungkin dia mengatakan itu di depan seluruh mahasiswa baru hari ini, meskipun sebenarnya dia sangat ingin berteriak.
"Kalo tahu, coba sebutin namanya dan kalo ada di ruangan ini silakan tunjuk yang mana orangnya."
Jari telunjuk mengarah lurus tepat pada Langit yang sedang berdiri di lantai dua ruangan aula. Lantas seisi ruangan menoleh serempak. Mencari siapa yang ditunjuk Bintang.
"Kak Angkasa Langit Senja, presiden mahasiswa tahun ini"
Arjuna, Aliesha, dan semuanya berteriak heboh. Tidak menyangka Bintang bisa menjawabnya secara lengkap tanpa ragu. Tatapan mereka saling beradu tanpa semua tahu apa yang mereka komunikasikan. Rasa sakit dan nyeri dari luka yang meraka pendam. Hari yang kelabu.
"Kok kamu tahu? Coba sekarang panggilannya siapa?" Ar bertanya sekali lagi dengan rasa senang yang tak terbendung.
"Panggilannya kak Langit."
"Bintang di Langit Senja." Aliesha mengucap dan semua berdecak kagum.
Nama mereka memang pas saat disandingkan. Seakan bercerita betapa indahnya langit malam dengan kerlip bintang. Senja yang menghangatkan dengan warna jingga sebagai salam perpisahan.
Namun nyatanya hanya ada sembilu. Langit hanya ruang hampa. Sangat luas sampai bentang bintang tak cukup untuk memeluknya. Lukanya membiru.
"GAK ADA BINTANG DI LANGIT SENJA" ucap Langit yang berhasil mengheningkan suasanya. Jawaban yang sudah sesuai dengan perkiraan Bintang. Bahkan di depan umum Langit tidak menutupi rasa bencinya.
Kala semesta mempertemukan mereka walau berakhir tak bahagia.
"Cakep tau, Ngit!" Bujuk Ar kali ini. Namun si keras kepala itu acuh.
"Gak papa dek Bin. Masih banyak yang lain. Langit emang agak bodoh."
***
"Emang bodoh." Celetuk Nata.
Langit menoleh. Dia sangat menghafal nada suara itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah Nataya Tanggara, sahabat tunangannya. Perisai Bintang yang sudah pasti menjadi panglima perang baginya jika ada yang mengganggunya, termasuk dia tidak segan pada Langit.
Bukan hanya tentang Bintang, kisah ini juga menyangkut Nata. Sebagai pihak ketiga Nata juga bagian penting. Semenjak Langit menabung benci pada Bintang, disitu pula Nata melakukan hal yang sama padanya. Hubungan mereka renggang dan hasilnya seperti sekarang.
Keduanya memang bersebalahan. Langit tidak tahu jika sahabat Bintang akan ikut berkuliah di kampus yang sama dengannya. Lebih tepatnya Langit lupa kalau keluarga Nata memang lulusan terbaik kedokteran kampusnya, malah aneh kalau sampai si 'badak' ini tidak berkuliah disini.
Jika Nata memanggil Langit dengan sebutan 'aki-aki bau balsem', Langit pun punya sebutan untuk Nata yaitu 'badak'. Menurutnya Nata memang memiliki badan yang keras seperti kulit badak. Jangan tanya kenapa Langit bisa tahu kulit badak sangat keras dia pernah pergi ke taman safari dan menyentuhnya.
"Diem lo badak." Desis Langit agar suaranya cuma terdengar oleh Nata.
"Selain bodoh dia buta juga. Sahabatku yang malang ketemu aki-aki bau balsem. Kalo bukan karena Bintang udah gue hajar lo."
"Sorry, gak paham bahasa badak."
Semua itu karena Bintang. Jika saja tidak ada Bintang, Nata jamin akan menghabisi Langit sampai tidak berbentuk. Sudah cukup melihat raut sedih Bintang karena laki-laki brengsek ini. Dia tidak ingin melihat tangisan bodoh Bintang masih saja membela laki-laki di sebelahnya ini.
Rasa cinta Bintang memang bersanding dengan perihnya luka. Begitu sia-sia tak bernilai apa-apa. Serpihan hatinya pun dia dekap dalam rengkuhan. Nata saja lelah melihatnya namun si kecil itu tidak.
"Gak usah sok baik. Jauh-jauh dari dia. Gak pantes cowok brengsek kayak lo deketin dia."
"Dengan senang hati. Dan mending lo bilangin sahabat tersayang lo buat jauh-jauh dari gue. Apalagi di kampus. Merusak pemandangan."
Tangan Nata mengepal. Meremas menahan amarah. Semudah itu Langit mengucapkannya. Apakah dia lupa siapa yang pernah dia sayangi dulu? Bintang pernah menjadi bahagianya. Bintang pernah menulis cerita indah di kehidupannya. Apakah Bintang layak menerima ini semua?
Langit yang memulai kisah ini semua. Bintang datang ke kehidupannya pun karena dia melibatkannya.
"Lo emang gak punya malu ya. Heran banget, wajah lo udah pindah pantat? Lihat siapa yang bicara? Semudah itu mulut lo ngomong begitu."
Nata tersenyum miris melihat Bintang yang sedang tersenyum di atas panggung. Sangat kontras dengan keadaannya sekarang. Bagaimana jika kalimat Langit barusan sampai ke telinganya? Tentu Bintang tersenyum. Dia akan memaklumi itu. Tapi Nata tidak. Nata tidak bisa sepertinya.
Nata tertunduk. Sebulir air mata menetes menyentuh lantai. Dadanya sesak. Masih berusaha membedakan Langit yang dulu pernah hangat dan yang sekarang begitu bangsat. Waktu tak membiarkannya beradaptasi dengan baik.
Sapaan itu masih terngiang dalam memori. Tepukan pundak, senyuman, dan sapaan akrab itu Langit yang seharusnya Nata kenal. Kata-kata baik selalu mendeskripsikan Bintang. Merangkai kalimat indah menyampaikan rasanya.
Hantaman pertama saat tangis itu pecah dalam pelukan Nata. Suara terbata-bata menyekat dada. Si kecilnya runtuh. Mimpi buruk yang bahkan tidak pernah Nata bayangkan sebelumnya. Karena jujur saja penilaian dirinya tentang hubungan dua insan manusia ini bak langit dan bintang pada umumnya. Bersanding sepanjang malam hingga mentari terbit di saat fajar.
"Gue cuma berdoa semoga lo gak pernah ngerasa nyesel pernah ngelakuin ini ke Bintang. Semoga keputusan lo bener."
-tbc
💚💚💚[Kalau berkenan boleh minta masukannya ya Babii sayang]

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Langit Senja
FanfictionLangit tak sehangat jingga. Tidak ada bintang di langit senja. Cahayanya tidak bisa merengkuh gelapnya angkasa. Indah yang hanya sebuah fatamorgana. Awan-awan mulai mengabu, menutup pandangan menuju dirimu. Seucap pesan membawa bintang menuju perjal...