Suara ketukan pintu pagi ini membuat tubuh Langit menggeliat di luar jadwal seharusnya dia bangun. Panggilan yang berulang dari arah luar kamarnya mengharuskan Langit bangkit dari kasur. Mulutnya tak berhenti menggerutu namun tak selaras dengan kaki yang terus berjalan membuka pintu. Kepala Langit langsung menunduk mendapati wajah cerah secerah matahari pagi ini.
"Langit, ayo sarapan."
Terdiam, Langit kaku sejenak. Matanya mengerjap berusaha mengembalikan pikiran normal. Langit belum terbiasa dengan kehadiran Bintang di kontrakannya. Si kecil berbinar dan menyilaukan kontrakan Langit yang sebelumnya suram. Abu-abu itu mulai tercampur setetes warna.
"Gue mau cuci muka dulu. Lo ke meja makan duluan."
Bintang hanya mengangguk. Berbalik badan meninggalkan Langit yang ternyata masih memperhatikan punggung Bintang menjauh.
"Ngapain sih lo, Ngit? Ngapain diliatin anjir."
Langit segera membuyarkan fokus dan langsung menutup pintu. Dahinya lantas mengernyit, Langit menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia merasa heran dengan dirinya sendiri akhir-akhir ini. Rasanya Langit punya banyak waktu luang hanya untuk memperhatikan Bintang diam-diam. Memperhatikan setiap gerakan Bintang dari ujung kepala sampai kaki. Mulai dari rambut Bintang yang bergoyang terkena angin ataupun kaki Bintang yang berdendang mengikuti irama lagu yang diputar. Bahkan otak Langit selalu mengatakan kata gemas setelah melihat semua hal itu.
Sepuluh menit kemudian Langit baru bergabung dengan Bintang di meja makan. Roti panggang dengan selai cokelat tersaji di atas dua piring. Satu piring untuk Bintang dan satu piring lainnya untuk Langit. Tidak lupa dua gelas susu hangat juga disajikan oleh Bintang.
"Nanti Bintang mau belanja. Langit mau nitip sesuatu?"
"Sama siapa?"
"Sendiri."
"Naik apaan?"
"Taksi online kalo gak bareng Nata sih."
"Oh."
"Jadi mau nitip sesuatu?"
"Lo berangkat bareng gue aja. Lo kelas jam 9 kan?"
Bintang mengangguk.
"Ya udah ayo berangkat."
Bintang tidak langsung beranjak. Atensinya terfokus pada pakaian Langit yang masih belum berganti dari sejak ia membangunkannya tadi, celana selutut dengan kaos berwarna putih. Langit malah pergi mengambil kunci mobil, begitu santai. Bintang tidak tahu Langit ada kelas atau tidak hari ini, tapi kalaupun memang ada sepertinya Langit tidak akan memakai pakaian ini sekarang.
"Kok Langit gak ganti baju? Langit gak ada kelas? Kalo gak ada kelas mending Bintang mesen ojol aja."
"Gue anterin. Ayo cepet. Gue juga sekalian mau ke sekret."
Bintang mengerjap-ngerjapkan mata. Sungguh di luar kebiasaan Langit bersikap seperti sekarang. Tapi Bintang tidak ambil pusing, kebaikan Langit tidak akan pernah dia sia-siakan. Kaki Bintang mulai melangkah, mengekor di belakang punggung tunangannya itu.
Tidak ada sepatah dua patah kata yang terlontar di antara mereka. Hanya sebuah lagu yang sengaja diputar Langit sebagai pemecah keheningan. Bintang juga cuma diam terpaku menatap jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Hingga sepuluh menit kemudian, mobil Langit sudah terparkir di salah satu gedung di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
"Ada berapa matkul?"
"Dua matkul."
"Telepon gue kalo udah selesai. Gue yang anterin lo. Kata papa mobil lo baru nyampe besok."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Langit Senja
FanfictionLangit tak sehangat jingga. Tidak ada bintang di langit senja. Cahayanya tidak bisa merengkuh gelapnya angkasa. Indah yang hanya sebuah fatamorgana. Awan-awan mulai mengabu, menutup pandangan menuju dirimu. Seucap pesan membawa bintang menuju perjal...