Bagian 7

127 18 18
                                    

Kaki-kaki kecil Bintang berjalan kesana kemari terkadang sambil berlari. Mengekor pada Kawa dan Gana si pemilik kaki jenjang. Mereka sekarang sedang berkeliling menemui beberapa panitia OSPEK dan melaksanakan tugas yang nantinya akan mendapat paraf. Semua hal itu dilakukan untuk dijadikan bahan laporan sebagai output dari pelaksanaan OSPEK.

"Bin maaf. Tadi aku udah ke kak Langit sama Gana waktu kamu ke toilet. Kebetulan waktu ketemu kak Langit lagi gak dikerubungi banyak anak-anak lain. Jadinya aku sama Gana ninggalin." Ucap Kawa penuh sesal.

Bintang menggeleng, tidak masalah. Nanti dia bisa meminta sendiri. Toh itu hanya Langit, meskipun Bintang tidak yakin tugas apa yang akan Langit berikan padanya.

"Gak papa. Nanti Bintang minta sendiri."

"Tapi kamu gak ada masalahkan sama kak Langit?" Kali ini Gana yang menimpali. Dia khawatir karena teringat momen saat di aula kesan pertama Langit seperti tidak ramah pada Bintang. Dia takut Langit akan memberikan tugas yang sulit pada si kecil ini.

"Enggak kok, Gan. Tenang aja. Bintang gak ada masalah sama kak Langit."

"Mau kita anterin gak?"

Bintang menggeleng. Untuk apa dia diantar? Ini hanya menemui Langit bukan sedang mengantar anak sekolah di hari pertama karena takut. Bertahun-tahun dia bersama Langit. Sudah paham semua sikapnya, dari yang lembut sampai kasar. Bintang tamat untuk masalah itu.

Gana dan Kawa baru saja mengenal sehari, Bintang tidak mau dua teman barunya ini mengetahui sisi hitam Langit yang lain. Cukup dirinya. Bintang tidak ingin telinga mendengar Langit mencaci dirinya.

"Kalau boleh tau, tadi kak Langit pergi kemana ya? Mau Bintang susulin siapa tau belum jauh."

Gana menunjuk ke arah dekat kantin kampus. Area yang sekarang terlihat ramai oleh mahasiswa baru yang sedang bergerombol.

"Oke, makasih. Kalian duluan aja balik ke aula. Bintang bakal langsung nyusul."

"Beneran nih gak mau ditemenin?"

Bintang tersenyum seraya menggeleng.

"Ya udah, kita balik duluan ya ke aula."

"Iya."

Bintang dan dua rekan kembarnya itu lantas berpisah haluan. Bintang berjalan seorang diri namun sesekali disapa ramah oleh rekan maba yang lain. Dalam sehari Bintang bersinar. Sepertinya tidak ada yang tidak mengenalnya. Bahkan di kalangan panitia OSPEK namanya selalu jadi perbincangan.

"Hai, dek Bin. Mau kemana?" Tanya salah seorang panitia yang kalau Bintang tidak salah ingat namanya kak Tikta, ketua pelaksana OSPEK tahun ini.

"Oh iya kak, Bintang mau ke kak Langit."

"Si Langit sebelah sana tuh. Tapi agak rame sih. Mending kamu cepetan. Biasanya dia kalau rame langsung diparaf aja."

"Iya kak, makasih."

Bintang segera pergi setelah berpamitan pada Tikta. Menghampiri kerumunan yang kakak tingkatnya maksud barusan. Mendengar semua kalimat-kalimat yang Langit sampaikan. Beberapa hal yang menurut Bintang penting iya catat di buku catatannya barangkali bisa dia masukkan dalam laporan.

Butuh sekitar sepuluh menit sampai Langit akhirnya selesai dan memulai sesi memparaf. Bintang berbaris sesuai dengan urutan sampai akhirnya mereka saling berhadapan. Langit menghentikan gerakannya. Menutup penanya dan lantas melipat kedua tangannya.

"Mana buku kalian?" Langit mengabaikan Bintang, dia malah meminta buku maba lainnya dan memparafnya, kecuali milik Bintang. Bintang tidak bergeming. Dia takut jika protes Langit akan semakin marah padanya.

Bintang di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang