Bagian 3

142 14 0
                                    

Matahari mengintip di ufuk barat, mengucap selamat datang gelapnya malam. Awan-awan kelabu menyambut datangnya Bintang di Surabaya. Orang-orang berlalu lalang, mencari sanak saudara yang sedang menanti di pintu kedatangan. Bintang terus berjalan, mengekor di belakang Nata yang sedang mengomel dengan seseorang di teleponnya. Bintang tidak tahu siapa, tapi inti dari pembicaraan itu Nata kesal karena ternyata mobilnya belum sampai di parkiran bandara.

Nata dan Bintang sudah mendiskusikan masalah kendaraan ini sebelumnya. Sebenarnya di jaman sekarang tidak susah untuk menggunakan transportasi umum, terlebih lagi semenjak ada transportasi online. Namun pertimbangan mereka jika memiliki setidaknya satu kendaraan pribadi semua akan sedikit lebih efisien karena tidak perlu ada jeda waktu menunggu. Mereka akhirnya memutuskan mengirim mobil milik Nata—BMW X2 M35i untuk kendaraan pribadi mereka selama di Surabaya. Tapi jika nantinya kendaraan itu tidak bisa memadai mobilitas mereka yang memang beda jurusan, Bintang akan meminta om—ayah Langit untuk mengirimkan mobilnya ke Surabaya.

"Gimana?"

"Katanya sepuluh menit lagi."

"Ya udah gak apa-apa, Na. Kan kita bisa duduk-duduk dulu. Istirahat."

"Gue pengen cepet rebahan. Kaki gue pegel. Kursi pesawatnya sempit banget."

"Kaki Nata yang kepanjangan."

"Kaki lo yang kependekan anjir. Udah gue suruh beli yang businness class malah beli yang ekonomi."

"Cuma Surabaya Jakarta aja Na, masa beli yang business class."

"Pokoknya kalo kita balik ke Jakarta harus beli yang business class, gak mau tau."

"Iya iya."

Bintang dan Nata kembali hanyut dengan pikiran masing-masing. Tidak lama kemudian Nata berdiri dari duduknya dan meminta ijin pada Bintang untuk membeli minuman. Bintang memilih untuk tetap duduk sembari menjaga koper-koper mereka.

Tangan Bintang tidak berhenti membolak-balikan gawainya. Air mukanya telihat ragu saat matanya membaca nama Langit di posisi pertama daftar pesannya. Seperti biasa, Langit tidak membalas.

Tiga tahun terakhir bisa terhitung berapa kali Langit membalas pesan Bintang. Kalaupun menjawabnya, itu hanya sebuah jawaban singkat meliputi iya dan tidak. Bintang menerimanya. Bahkan begitu senang saat membacanya walau hanya sekata. Saking senangnya kadang Bintang akan meng-capture pesan itu sebagai bukti bahwa Langit tidak benar-benar mengabaikan dirinya. Walau hanya kesenangan sesaat.

Jempol Bintang bergerak membuka bagian pesan milik Langit. Ternyata Langit belum membaca pesan yang dia kirimkan sebelum pesawat lepas landas. Sekarang Bintang ragu untuk mengirimi Langit pesan.

Bintang kemudian membalikkan layar gadgetnya. Mengabaikan niatnya untuk mengabari Langit. Namun getaran tanda notifikasi membuat Bintang buru-buru mengecek kembali gadgetnya. Bersamaan dengan indera penglihatannya yang menangkap nama tunangannya yang tertera di layar jantungnya sudah tidak karuan ingin membucah keluar dari tempatnya.

Langit menelepon Bintang.

"Halo, La-ngit?" Bintang menjawab dengan suara terbata—masih tidak percaya kalau Langit akan meneleponnya.

Hening. Tidak ada jawaban di ujung sana.

"Bintang udah nyampe kok, Ngit."

"Gue disuruh papa buat telepon lo. Ya udah kalo lo udah sampe."

"Langit?"

"Apa?"

"Makasih udah mau telepon Bintang."

"Ya."

Langit memutus sambungan teleponnya terlebih dahulu. Bintang buru-buru menghapus bulir air mata yang tanpa sadar menetes di ekor matanya. Bintang terharu. Terasa mimpi mendengar suara Langit dari sambungan telepon gadgetnya sendiri. Apalagi suaranya tidak ketus seperti biasanya.

Bintang di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang