Wajah Nata bersungut kesal saat mengetahui jika sahabat kecilnya harus bermentor Langit. Susah payah Nata berpidato panjang lebar, memberi gambaran semenyakitkan apa Langit itu tapi jika semesta mengharap Bintang bertemu dengannya lagi semua jadi sia-sia. Sumpah serapah sudah terlontar dari mulut Nata bagi manusia yang membagi kelompok mentoring.
Bintang cuma menghela napas, tidak bisa melawan Nata yang terlewat emosi. Sesekali pun tertawa karena terkadang Nata juga menyumpahi Langit. Apapun masalahnya Langit tidak pernah absen dari makian Nata. Bagi Nata, Langit adalah inti dari segala inti kesialan.
"Gak apa-apa kok, Na. Bintang janji bakal cuekin Langit."
"Bohong. Gak mungkin. Gue udah temenam sama lo itu enam tahun ya, Bin. Gue itu tau banget lo kayak gimana. Apalagi ini tuh berhubungan sama si aki-aki. Jangankan dia ngomong, dia baru muncul depan lo aja otak lo langsung ngasih opsi mungkin Langit bisa berubah. Tai kucing rasa cokelat."
Nata terlewat hafal Bintang dan Langit. Selalu berputar dalam lingkaran setan. Bintang dengan segala maafnya dan Langit yang selalu membuat murka. Kenapa Nata harus terjebak dalam drama kehidupan manusia ini. Ingin menyerah tapi membayangkan Bintang bersedih sendirian saja Nata tidak bisa.
Sekarang saja Nata sudah memiliki gambaran dalam otaknya bagaimana Bintang nanti jika mentoring bersama Langit. Tentu Nata juga tau sikap apa yang akan diambil Langit dalam menghadapi Bintang.
Kesalnya lagi Nata tidak bisa bersama Bintang. Kalau saja Nata bisa terus di sampingnya, dia mampu melawan si tua bangka itu. Tidak akan Nata biarkan Bintang kecilnya semakin kecil mendengar celotehan si brengsek Langit. Belum sembuh lukanya melihat Bintang di kolam air mancur kampus dan sekarang dia harus dipertemukan untuk kurun waktu enam bulan.
"Kenapa FK sama FISIP harus beda gedung sih. Jauh pula. Gue gak bisa nyamperin lo tiap waktu."
"Na, Bintang itu gak apa-apa. Langit paling nyuekin Bintang. Jadi gak akan ada masalah."
Semenjak Langit berkuliah, itulah masa terbahagia bagi Nata karena akhirnya bisa melihat Bintang perlahan mulai kembali tertawa. Bahkan Bintang juga mulai mengeluarkan lelucon menggemaskan yang walaupun garing Nata tetap tertawa. Semua hal itu layak untuk Bintang rasakan setelah beberapa tahun terus murung karena Langit. Namun sekarang kereka berdua malah dipertemukan lagi. Bahkan di hari pertamanya berkuliah, Langit berhasil mengeluarkan ari mata Bintang.
Nata sudah berulang kali membujuk Bintang untuk berkuliah ke luar negeri tapi si kecil tidak mau. Alasannya tidak lain tentu saja Angkasa Langit Senja. Langit dan Bintang kembali pada alur mereka. Semesta tahu mereka harusnya bersama.
"Dan kenapa lo mau pindah kos? Disini aja ya Bin."
"Gak bisa Na. Gedung FISIP dari sini jauh banget. Bintang juga udah nyuruh om buat ngirim mobil Bintang. Jadi besok habis kegiatan bantu Bintang nyari kosan."
"Kalo gue ilang di Surabaya gimana? Gue kan sendirian." Rajuk Nata masih berusaha mempertahankan Bintang di kosannya.
"Lebay deh. Gak akan hilang, Na. Nata juga masih bisa ke kosan Bintang. Lagipula kalau Bintang disini terus, lulusnya bukan sarjana hubungan internasional, tapi pendidikan dokter. Terasing banget Bintang disini. Kalian bicarain anatomi tubuh terus sampe Bintang hafal."
"Awas aja lo sekontrakan sama aki-aki itu ya. Gue jambak lo, Bin."
"Sempet ditawarin om. Tapi Bintang bilang pasti Langit gak akan mau. Jadi om gak bilang ke Langit. Makanya besok anterin. Kalau gak anterin Bintang ke kontrarkan Langit aja."
"Gue bakar tuh kontrakan."
"Kayak tau aja jalan di Surabaya."
"Diem lo. Kemaren kesasar masuk tol bergaya ngomongin jalan."
***
"Langit, Bintang bilang kalau dia mau nyari kosan. Apa kamu tau kosan yang bisa bawa mobil dan nyaman buat Bintang tempati? Katanya kampusnya jauh kalau dari kosan Nata."
"Gak tau Pa."
"Papa sudah tawari di kontrakan kamu tapi dia nolak. Coba kamu temani dia nyari kosan besok. Mobil dia nyampe kira-kira baru lusa. Kasian dia kalau nyari sendiri. Dia gak ada kenalan selain dirimu disana."
"Kalau Langit gak sibuk. Langit anterin."
"Kalau gak ada, coba biarin Bintang di kontrakan kamu buat sementara."
"Terserah."
Sambungan telepon terputus tanpa salam penutup. Langit menengadah menghadap plafon kamar. Mata terpejam dan dalam gelapnya pikiran suara tangisan Bintang terputar jelas. Sampai sekarang Langit tidak tahu bagaimana cara dia bertemu dengan Bintang. Apakah harus dia meminta maaf untuk sikapnya tempo hari? Apa cincinnya sudah ditemukan? Banyak hal yang terus berputar di otaknya.
Belum selesai masalah mentoring dan sekarang ayahnya meminta dirinya menemani Bintang lagi. Kenapa malah jadi begini? Padahal biasanya Langit tidak akan peduli. Bergerak implusif seperti Bintang tak mempunyai rasa. Apa karena Langit melihat Bintang menangis?
Bisa jadi.
Langit mengenal Bintang sejak kecil. Bintang jarang menangis. Bahkan saat Langit membentaknya sekalipun di depan ayahnya, Bintang tak pernah menampakkan emosinya. Berusaha tetap tenang paling hanya menarik napas dalam.
Tapi kemarin Bintang menangis. Memohon seperti Langit telah meruntuhkan segalanya. Cincin itu begitu berharga untuk Bintang—sesuai ucapannya. Bagaikan udara yang membantunya bernapas, Langit seakan mencekik leher tunangannya itu.
Langit menghela napas. Begitu lelah memikirkan semuanya. Kenapa Langit mempersilakan si kecil menulis cerita kehidupan bersama jika pada akhirnya menoreh luka? Kenapa harus Bintang?
***
"Hai, kak."
Langit menoleh ke arah sumber suara. Memincingkan alis merasa tidak kenal pada sosok perempuan yang kini tersenyum padanya.
"Aku Viona kak, yang kemaren sempet ngehubungin kakak buat bahas masalah mentoring"
"Oh jadi lo yang namanya Viona. Gini ya, mentoring dimulai setelah OSPEK. Sorry, kemarin gue lupa balesnya."
Langit menumpuk beberapa kardus dan siap mengangkatnya menuju ruang BEM namun sebuah tangan terulur. Ternyata Viona langsung mengambil beberapa kardus dan membanguk membawakannya.
"Mau dibawa kemana, Kak? Aku bantuin."
"Gak usah. Gue bisa sendiri."
"Gak apa-apa, Kak."
Langit tidak bisa lagi protes, Viona telah berjalan mendahuluinya. Langit segera berlari kecil mensejajarkan langkah dengan perempuan itu.
"Lo tau nomer gue dari siapa?"
"Dari Bintang."
"Bintang?"
"Bintang yang nyuruh aku buat hubungin kakak langsung."
"Oh."
Sempat hening saat keduanya melewati koridor. Hingga Viona mengajukan pertanyaan yang membuat Langit hampir tersandung kakinya sendiri.
"Kakak pacarnya Bintang ya?"
"Hah?"
"Kalian keliatan deket banget. Beberapa kali aku liat Bintang merhatiin kakak, terus kadang kakak liatin dia juga."
"Enggak. Salah liat lo."
"Kalau gak ada hubungan spesial, kenapa kalian kayaknya bertengkar di taman kampus?"
Langit berhenti melangkah. Matanya tajam menusuk tepat pada Viona.
"Aku gak sengaja kakak sama Bintang di taman kampus waktu itu."
"Hubungan gue sama Bintang bukan urusan lo. Mau gue pacar Bintang atau bukan rasanya lo gak berhak tau tentang itu."
Viona tersenyum. Langkahnya mendekat kembali pada Langit.
"Maaf ya kak. Viona lancang. Janji gak akan kesebar."
-tbc-
💚💚💚

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Langit Senja
FanfictionLangit tak sehangat jingga. Tidak ada bintang di langit senja. Cahayanya tidak bisa merengkuh gelapnya angkasa. Indah yang hanya sebuah fatamorgana. Awan-awan mulai mengabu, menutup pandangan menuju dirimu. Seucap pesan membawa bintang menuju perjal...