Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun tidak ada raut lelah di wajah empat sekawan ini. Mereka malah asik menyantap nasi goreng bersama di ruang tamu kontrakan milik Langit. Aliesha baru saja memasak mahakarya dari sisa nasi dalam rice cooker. Tentu saja tidak pedas karena kalau pedas Langit bisa mengusir mereka semua.
"Al, kayaknya lo udah cocok nih berumah tangga. Alamat rumah lo masih tetepkan?" Tikta berucap dengan kerongkongan yang masih bersusah payah mendorong nasi goreng ke dalam lambung.
"Ngapain lo tanya-tanya rumah Aliesha hah?" Bukan Aliesha melainkan Arjuna yang menjawab. Sebelah alisnya terangkat menuntut penjelasan dari sahabatnya.
"Ya cuma tanya Ar. Siapa tahu besok gue kebingungan pas mau ngelamar."
"Terus kenapa lo sewot jawabnya Ar? Bukannya si Tikta nanya ke Al ya? Lagipula lo siapanya si Aliesha? Pacar bukan. Sok posesif lo. Resmiin dulu makanya, baru boleh sewot."
"Bener Ar, ngapain lo yang sewot? Pacar gue juga bukan. Ya kalo jodoh gue Tikta kenapa?" Aliesha pun menimpali. Semua sudah tahu bagaimana perasaan Arjuna Aliesha sebenarnya, tapi manusia perfeksionis sepertinya tetap cupu jika menyangkut masalah cinta.
"Brengsek kalian."
"Idih marah. Tenang Ar, gue ngelamar Al kalo lo udah nyerah. Kalo lo masih bertahan, gue kasih kesempatan lo nyamperin rumah Al duluan."
"Tuh, udah dikasih kesempatan sama Tikta. Jadi kapan Al?"
"Ngegas amat ya."
"Digas pun si Ar tetep melempem anjir. Dahlah capek gue Ar."
Mereka selalu begini dan berharap akan tetap seperti ini. Kontrakan Langit memang tempat mereka berkumpul. Ar dan Tikta tinggal di kosan yang tidak boleh menerima tamu dari luar. Aliesha di apartmen dan sepertinya tidak etis jika membawa tiga laki-laki sekaligus masuk ke sana.
Tentu Langit tidak keberatan. Dia tinggal sendiri, jadi dia bebas melakukan apa saja disini. Langit malah senang jika teman-temannya datang, setidaknya dia tidak kesepian. Kadang bosan berdiam diri dan hanya menskrol layar hp.
"Btw, kok dek Bintang tau lo, Ngit? Maksudnya kan lo gak muncul ngenalin diri sebagai presma. Kok dia tau secara spesifik tanpa ragu jawabnya."
Langit menghentikan pergerakannya. Menoleh ke arah Aliesha yang bertanya. Helaan napas Langit menandakan dia sebenarnya sudah lelah mendengar nama itu selalu disebut seharian ini. Bintang dan suara sendu memohonnya tadi siang masih berputar-putar dalam ingatannya.
"Dia..."
"Iya? Dia siapa lo?"
"Cuma adek kelas waktu sekolah dulu."
"Oh!" Tikta, Aliesha, dan Arjuna menjawab serempak.
"Tapi kok bisa tau? Kan cuma adek kelas? Hayo lo ada apa apa ya sama si Bintang?" Ar menggoda namun dapat lirikan tajam dari Langit.
"Ya dia tetangga rumah gue. Mungkin papa gue yang cerita."
"Terus, kok lo sewot sama dia sih? Lagi berantem ya?"
"Enggak ya. Ngapain gue tengkar sama Bintang."
"Kalo balik Jakarta sering main berarti?"
"Gak akrab gue."
"Akrab juga gak papa kali, Ngit."
"Lo pada kalo mau ya udah sono. Gue kagak mau."
Langit tidak peduli lagi. Sudah cukup dia berbicara mengenai Bintang. Jika pembicaraan ini terus dilanjutkan semua tentang dirinya dan Bintang bisa saja langsung terbongkar dari mulutnya sendiri. Lalu apa gunanya dia menyuruh Bintang tutup mulut jika begini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Langit Senja
FanfictionLangit tak sehangat jingga. Tidak ada bintang di langit senja. Cahayanya tidak bisa merengkuh gelapnya angkasa. Indah yang hanya sebuah fatamorgana. Awan-awan mulai mengabu, menutup pandangan menuju dirimu. Seucap pesan membawa bintang menuju perjal...