Bagian 15

181 26 4
                                    

Butuh waktu sekitar dua jam sampai Bintang benar-benar selesai menata seluruh barang di kamar. Langit sudah tergeletak di sofa. Kipas angin sengaja dia arahkan padanya, mengeringkan badan yang basah oleh keringat. Nata masih bersama Bintang, memastikan si kecil telah selesai dengan kegiatan menatanya.

"Heh, gak ada air apa? Haus nih gue."

Nata menghampiri Langit yang sedang berselonjor, kakinya sengaja Nata tendang. Langit melotot pada Nata tapi yang dipelototi tidak gentar dan malah menatap tak kalah tajam.

"Tau sopan santun gak lo? Mending lo pulang sana. Dugong kayak lo malah bikin tambah pengap di sini."

Nata sudah ingin melayangkan tinju tapi suara Bintang menghentikan gerakannya. Malah Langit langsung bangkit dari posisinya, yang semula berselonjor menjadi duduk. Nata pun juga segera duduk di salah satu kursi, tidak ingin memperpanjang debat dengan Langit karena hal itu malah membuat Bintang sedih nanti.

"Langit sama Nata mau pesan apa? Ayo pesan makanan. Pasti kalian laperkan?"

"Gue pengen makan ramen. Kayaknya enak deh. Siang begini makan berkuah terus minumnya ocha. Segerkan?" Nata begitu antusias menyampaikan keinginannya pada Bintang, namun dapat lirikan sewot dari Langit.

"Gue mau padang aja. Lo tau kan kesukaan gue?" Sama halnya dengan Langit tadi, Nata pun melirik tak suka setelah mendengar ujung kalimat tanya yang dilontarkannya pada Bintang.

"Apa gak sebaiknya samaan? Biar nunggunya gak terlalu lama. Pasti Langit sama Nata laper banget, kan?"

Langit setuju dengan pendapat Bintang. Apalagi perut Langit sepertinya sudah sampai dipuncak kelaparan. Para cacing dalam mulai merdendang meminta jatah makan. Tapi Langit tidak mau makan ramen. Bagi Langit itu hanya sebuah camilan bukan makanan utama. Lagi-lagi dia hanya memutar mata malas berdebat dengan dugong terdampar di sebelahnya alias Nata.

"Gue pokoknya mau padang. Gue laper banget. Gak kenyang kalo cuma makan mie doang. Kalo lo maksa mau makan mie, gong, sono masak di dapur. Masak indomie kuah."

Langit memang tak ingin berdebat. Berbicara dengan Bintang saja sembari memejamkan mata. Tidak ingin beradu pandang dengan Nata yang selalu saja berhasil memantik emosi. Ingin mengusirnya, tapi pasti Bintang tak akan senang.

"Dih...mana bisa begitu. Lo kira, lo doang yang punya hak pilih di sini? Lo kira, lo doang yang laper? Gue juga..."

Benar dugaan Langit, Nata akan menyangkal jawabannya dengan urat rahang yang mengetat. Padahal Langit tadi cuma berbicara dengan nada lemas.

"Lo kalo maksa, lo beli aja sendiri. Sekalian pulang sono. Rame banget lo kayak tong setan."

"APAAN MAKSUD LO HAH?"

Bintang memijat pelipisnya, tanda kepalanya yang sudah pening mendengar dua orang di depannya terus berdebat. Melihat Langit yang sebenarnya sudah lelah juga cuma bisa mengabaikan ocehan Nata yang panjang ocehannya sepanjang kasih ibu, sepanjang masa.

"Kalau begitu, Bintang saja yang pilih. Langit sama Nata terima saja apa pilihan Bintang."

Bintang lantas langsung mengeklik salah satu tempat makan dengan rating lima di aplikasi ojek online. Langit dan Nata duduk patuh, tidak berani menyuarakan pendapatnya lagi. Langit juga akhirnya kembali memejamkan mata. Nata pun sudah sibuk dengan gawainya sendiri.

Tiga puluh menit kemudia pesanan Bintang datang. Satu porsi jumbo nasi goreng ikan asin dengan satu porsi koloke, tidak lupa juga tiga es teh. Semua disajikan di atas meja makan oleh Bintang. Setelah merasa sudah siap semua, dia bergegas membangunkan Langit yang ternyata ketiduran, sedangkan Nata dia sudah duduk manis di ruang makan.

Bintang di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang