Chapter 29: Keputusan Akhir

92 8 3
                                    


Yuta sedang bersiap berangkat ke kantor saat tangannya tidak sengaja memegang berkas kontrak pemain bola di atas mejanya. Setelah hampir seminggu melupakan dokumen itu, pagi ini dokumen itu kembali muncul seolah mengingatkan Yuta. Ingat tentang kontrak itu. Ingat tentang pembicaraan dengan Mr. Dong. Ingat tentang Winwin yang marah waktu dia berandai mereka berpisah.

Oh, tidak. Rasanya seperti mendapat mimpi buruk di pagi hari.

Yuta tahu, cepat atau lambat, dia harus membuat keputusan. Bagaimana pun pasti ada kekurangan dari apapun yang ia pilih nanti. Tapi tetap terasa berat untuk dilakukan.

"Yuta!" Deg. Panggilan Winwin dari balik pintu kamar mengagetkannya. "Kamu udah bangun kan? Ayo sarapan dulu!"

Sang pemilik kamar buru-buru memasukkan berkas tadi ke tas kantor dan membuka pintu. "Hai. Selamat pagi." Cengiran lebar ia paksakan muncul di bibir.

Dahi Winwin menggrenyit mendengar sapaan Yuta. "Selamat pagi? Tumben banget bahasanya formal gitu. Kamu nggak papa kan?"

Wah, hebat. Biasanya Yuta peka duluan dengan perubahan mood Winwin. Tapi kali ini, Winwin bisa mengenali perasaannya yang tidak beres. Apa kegusaran pikiran Yuta memang seterlihat itu?

"Hah? Biasa aja tuh. Selamat pagi. Ohayou gozaimasu. Good morning. Guten Morgen. . ." celetuk Yuta dengan logat berantakan berusaha mengalihkan pembicaraan sambil berjalan keluar kamar mendahului Winwin. Perempuan itu hanya menggeleng melihat kelakuan sang pacar.

*

"Dery."

Suasana ruangan yang sepi dan panggilan mendadak dari Yuta sontak berhasil membuat Hendery tersentak dari lamunannya. Dia yang tadi bermimpi liburan malah berakhir hampir jatuh dari kursi.

"Woy! Kalau ngomong, kasih aba-aba dikit dong. Kaget nih." Hendery bersunggut-sunggut kembali menyamankan posisi duduknya. "Ada apa?"

Gelak kecil Yuta saat melihat kelakuan Hendery menghilang. Wajahnya tampak serius. "Kira-kira, mana yang kamu pilih kalau terjebak di dua situasi ini.

Pertama, kamu mencintai pacarmu tapi untuk memperjuangkan masa depan kalian, kamu harus meninggalkannya. Kedua, kamu mencintai pacarmu dan tidak mau sama sekali berpisah dengannya walau masa depan kalian tidak pasti?"

Hendery memandang Yuta dengan ekspresi serius. Saking seriusnya sampai Yuta takut mengganggunya. Tapi, alih-alih menjawab, pria itu menggeleng. "Aku nggak pahaaam."

Duh, ekspektasi Yuta salah besar.

"Jadi gini. Bayangkan kamu punya pacar tapi hubungan kalian ditentang karena masalah finansial. Kebetulan kamu ditawari kerja dengan gaji besar tapi di luar negeri. Kira-kira kamu pilih mana antara pergi kerja di luar negeri atau tetap stay sama pacarmu?"

Laki-laki yang diajak bicara kini mengangguk-angguk. Tangannya mengusap dahu seperti detektif ternama yang berusaha memecahkan kasus penting. "Aku pilih kerjalah." Akhirnya ia memutuskan.

"Kalau punya banyak uang, hubunganku direstui kan? Lagi pula, bolak-balik antar negara itu gampang buat orang kaya."

Yuta menyahut, "Iya kan. Tapi gimana caranya bilang ke pacar. . ."

"Kamu jujurlah, Yut! Bilang kamu mencintai orang ini dan mau kalian menikah. Nah, bujuk pacarmu ini biar mau menunggu sebentar sampai kamu pulang," potong Hendery dengan nada berapi-api sambil menepuk punggung Yuta.

"Atau kalian lamaran dulu aja supaya lebih yakin," celetuknya lagi. "Atau punya anak. . . Aduh!"

"Sembarangan!" hardik Yuta setelah memukul belakang kepala Hendery agak keras. Tenang, walau dia lebih junior daripada Hendery di kantor, hubungan mereka akrab kok. Jadi, Hendery nggak bakal marah. "Mana ada orang disuruh langsung punya anak. Gampang banget."

Make Your Day || YuwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang