BAB 8 - Gunung Pangparang II

253 63 2
                                    

Menghadapinya secara terang-terangan itu adalah jalan yang lebih baik dari pada mendiamkannya.

-.-

Sekitar jam lima sore, Prilly dan Ali sampai di depan posko pertama Gunung Pangparang bersama anggota komunitas NGY Comunitas alias Naik Gunung Yuk, mungkin ada sekitar dua puluh lima orang yang ikut serta menaiki Gunung Pangparang. Tentunya untuk menaikinya pun harus paham dengan aturan-aturan istiadat yang sudah menerap di sana. Prilly semakin mendekat pada Ali saat salah satu temannya Ali terus mendekat padanya.

"Semoga aku bisa tenang. Bolos sekolah sama praktek demi manjat gunung," batin Prilly.

Setelah bersiapan sudah matang dan teliti juga. Ali dkk langsung menaiki gunung yang sedikit curam akibat kemarin hujan. Ali melirik tangannya dan tangan Prilly yang senantiasa tak pernah lepas bahkan saat ia akan melepaskannya pun Prilly tidak melepaskannya.

Nanti saat sudah sampai di posko kedua, rombongannya akan beristirahat terlebih dahulu atau melaksanakan sholat magrib dan sholat isya.

"Kenapa harus malem sih? Kan, suasana jadi serem, Li. Kenapa gak siang aja? Enak gitu bisa liat pema-------"

"Bawel banget sih lo. Tujuan gue bawa lo ke sini malem-malem itu buat nunjukin sesuatu yang indah, indah deh. Dan, suasana malem di gunung itu enak banget, pikiran kita jadi plong dan adem terhindar dari riuk priuk kota. Lo percaya deh, tujuan gue selalu baik sama lo," tutur Ali meyakinkan walau Prilly sendiri tak yakin.

Walau pendaki wanita tidak hanya Prilly saja, sekitar lima orang wanita ikut bersama mereka, walau mereka terlihat tomboy.

"Bismillah, semoga kuat."

Suasana yang sepi dan senyap hanya ada suara binatang-binatang kecil yang terdengar. Prilly terus-menerus berusaha meyakinkan dirinya untuk bisa sampai ke Gunung Pangparang. Perjalanan yang cukup curam membuat Prilly beberapa kali tergelincir ataupun merasakan sesak saat terus menanjak jalan yang tak pernah datar-datar. Tak ingin merepotkan mereka, Prilly menggeleng bertanda tidak apa-apa, walau kakinya tetap saja terasa sangat sakit.

"Kaki lo beneran gak pa-pa?" tanya Ali khawatir.

Prilly menggeleng. "Gue beneran gak pa-pa. Ayo lanjut, yang lain udah pada jauh. Suasana makin serem tau!" Prilly berjalan terlebih dahulu membuat Ali mengusap wajahnya, ternyata dia keras kepala juga.

Tiba-tiba Ali berjongkok di depan Prilly. Prilly mendorong pelan pundak Ali. "Ini tanjakan, Li. Mana kuat lo gendong gue sampe ke posko ketiga.  Kita itu harus sampe ke posko sepuluh," cetus Prilly. Ali menarik tangan Prilly. "Gue tau rasanya keseleo gimana. Buruan naik! Orang-orang udah pada neriakin kita. Punggung gue bakalan aman kok, buruan yelahhh... gue udah biasa naik gunung bawa bawaan dua puluh kilo di punggung, lo mah cetek, buruaan Prilly," seloroh Ali memaksa.

Dengan amat terpaksa, Prilly naik ke punggung Ali walau dirinya juga tidak yakin dengan keputusan ini.

Beberapa jalan yang terjal membuat Prilly was-was, apalagi dalam gendongan Ali, padahal kondisi jalan yang lumayan curam, dia malah memaksa menggendongnya.

Sampai di posko ke enam, rombongan mereka berhenti sejenak di saung kecil di sana. Prilly turun dari gendongan Ali, matanya seakan tak lepas melihat wajah Ali yang terlihat seperti kesakitan.

MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang