"Hai sayang." Rani tersenyum secerah musim semi ketika mendekati calon suaminya, bukan hanya calon suami bagi Rani, Ardi adalah dunianya. Ditambah, dunia itu akan segera menjadi miliknya secara utuh.
Ardi bangkit dari kursi lalu memberi kecupan di pipi kanan Rani seperti biasa dengan senyum manis berlesung pipi yang sangat Rani sukai.
"Kamu udah nunggu dari tadi? Tumben banget ngajakin makan jam segini?" Wajar Rani bertanya karena ini sudah lewat waktu istirahat makan siang. Rani duduk di samping Ardi dengan mata berbinar penuh minat. Sebentar lagi pernikahannya akan digelar, Rani akan bisa menikmati senyum manis dan menawan di depannya ini sepuas yang dia mau, setiap hari dua puluh empat jam per tujuh hari tanpa ada celah lagi.
"Yah biar pernah, lagian ini yang terakhir." Masih dengan senyum, mata Rani melebar meminta penjelasan. Perasaannya mendadak tidak enak.
"Yang terakhir maksud
"Kita putus." Potong Ardi seketika membuat wajah Rani membeku, bibir yang tertarik ke atas sampai tak bisa bergerak turun.
"Putus?" Gumamnya bertanya.
"Iya, kita putus dan batalin pernikahannya." Seolah ada batu besar yang menghantam kaca lalu mengenai wajah Rani ketika mendengar pernyataan Ardi.
"Ka kamu serius? Kenapa?" Rani mulai panik tapi dia tetap berusaha tetap terkendali.
"Kamu ada masalah? Masalah apa? Kenapa tiba-tiba dibatalin kalau ada mas-
"Aku bilang putus ya putus!" Rani langsung tercekat mendengar hardikan Ardi, ini pertama kalinya Ardi membentak Rani dan di depan banyak orang.
"Aku macarin kamu cuma buat menambah kesan sempurna dalam hidup aku. Seorang arsitek tampan, mapan yang punya pacar pengusaha cantik. Kamu pikir aku mau sama cewek perokok kayak kamu, jutek nggak bisa masak, nggak tahu urusan rumah? Aku lama-lama nggak kuat, frustasi dan enek sama kamu tahu nggak!" Rani masih membeku di tempat, setiap mata pengunjung lain memperhatikan mereka berdua. Rani teramat sangat malu sebenarnya namun kepalanya sama sekali tidak mau menunduk. Ardi mengusap wajahnya gusar, geram dan terlihat sangat stres sementara Rani merasa sangat sakit hati dihina seperti itu. Harga diri dan egonya seperti dihujam benda tajam berkali-kali.
"Pokoknya aku mau putus." Tegas Ardi lagi.
"Yaudah kalau itu mau kamu." Ucap Rani masih dengan kepala, bahu dan punggung tegak. Tatapannya lurus tepat di mata Ardi, emosinya benar-benar naik.
"Kita putus dan batalin pernikahannya. Tapi, bilang ke semua orang kalau aku yang mutusin kamu dan aku yang batalin pernikahan, bukan kamu. Ingat itu. Aku yang mutusin kamu." Ucap Rani tegas dan berulang.
"Urusan refund pembatalan pernikahan, ambil aja aku nggak butuh." Rani berdiri lalu melangkah dengan wajah angkuh, meninggalkan Ardi sendirian.
Setelah keluar dari restoran ia langsung mencoba menghubungi setiap vendor untuk menanyakan beberapa persen refund yang bisa dia dapat seandainya pernikahan dibatalkan. Rani mengatakan tidak butuh uang pengembalian hanya untuk melindungi harga diri dan egonya yang tersakiti saja, siapa yang mau rugi? Hanya orang gila yang mau rugi. Apalagi Rani membayar lima puluh persen di setiap pelunasannya karena memang mereka berdua memutuskan untuk patungan dengan uang sendiri tanpa campur tangan orang tua sama sekali.
Gigi Rani mengeretak ketika mendengar jawaban sama semua vendor. Mereka mengatakan bahwa Ardi sudah membatalkan dan meminta refund dari semua vendor dua hari sebelum mereka putus membuat Rani geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
RaniberumahRangga
General Fiction*Ini hanya cerita klasik tentang benci jadi cinta.* Rani diputus secara sepihak oleh tunangannya dengan alasan tidak masuk akal tepat seminggu sebelum acara pernikahan mereka digelar. Namun demi melindungi ego dan harga dirinya yang tersakiti, Ran...