Siapapun tahu dalam menjalani hidup tidak semua harus berjalan sesuai dengan yang kita mau, ada kalanya kita harus menerima kenyataan yang tidak sesuai keinginan. Seperti sekarang, Rangga harus mau menerima kenyataan ia menikah dengan seseorang yang tidak ia kenal, kenal saja tidak bagaimana mau cinta? Ditambah perempuan itu sama sekali bukan tipenya.
Ia juga harus mau menerima keadaan bahwa dirinya bangun di atas sofa ruang tamu karena tidak mungkin ia tidur di kamar dan membiarkan istrinya tidur di ruang tamu padahal impiannya ketika sudah menikah adalah bangun dalam keadaan masih memeluk sang istri. Bukan pernikahan seperti ini yang diinginkan oleh Rangga, tapi ia tidak bisa apa-apa sekarang selain menerima.
Rangga duduk terpekur menunggu semua sistem tubuhnya kembali pada tempatnya dan siap bekerja lagi, perlahan ia berdiri lalu menyalakan lampu utama dan membuka tirai. Matahari sepertinya sangat antusias menyinari langit Surabaya, masih pukul lima lebih lima belas menit tapi terangnya bisa membuat para pekerja dan anak sekolah panik. Ia kembali terpekur dan sesekali menguap, pikirannya masih kosong sama sekali tidak memiliki bayangan akan seperti apa melewati hari-hari bersama Rani.
Menyebut nama Rani, ia menoleh melihat ke arah kamar. Rasa penasaran membuat Rangga melangkah mendekati kamar dan terlihat perempuan mungil itu masih dibelenggu oleh selimut, hanya puncak kepalanya saja yang terlihat. Rangga tidak tahu jam berapa istrinya itu masuk suite karena Rangga tidur lebih dulu.
Kelopak bunga serta hiasan khas untuk menyambut pengantin baru berhamburan di karpet begitu juga tas milik Rani yang tergeletak dengan baju-baju yang mencuat berantakan membuat Rangga geleng kepala tapi juga kasihan melihatnya.
Drrrrt... drrrt...
Rangga menoleh ketika mendengar ponselnya bergetar, ia pun menjauhi kamar dan kembali ke sofa.
"Iya bu?"
"Aduuuh pengantin baru udah seger banget suaranya... lagi apa sayang?" Suara ibu tidak kalah cerah dari sinar matahari tapi tetap tidak bisa menyingkirkan mendung diantara dirinya dan Rani.
"Lagi duduk-duduk aja, ada apa?" Jawab Rangga datar.
"Oh lagi menikmati sunrise sama Rani ya... duuh senengnya..."
"Ada apa bu?" Rangga tidak menggubris celotehan ibunya. Terdengar ibu menghela nafas, tanda menyerah.
"Ibu cuma mau bilang kalau nanti siang ibu balik ke Jakarta. Kamu nggak lupa, kan?" Nada bicara ibu berubah serius. Beliau memang sengaja ingin langsung kembali selain banyak pekerjaan juga agar tidak mengganggu kehidupan mereka berdua.
"Rangga nggak mungkin lupa bu. Nelfon buat bilang itu aja?" Rangga masih datar bahkan tidak ramah pada ibunya.
"Iya..." Jawab ibu gantung, hening beberapa saat.
"Ga... ibu tahu kamu belum bisa terima ini, tapi ibu minta kamu tetap bersikap baik ke Rani ya.. meskipun kamu belum cinta sama dia nggak apa-apa, tapi dia itu manusia juga jadi kamu tetap harus diperlakukan baik." Tutur ibu hati-hati dan cukup panjang, Rangga hanya diam mendengarkan.
"Ibuk koyok ngene mergo ibu emoh pean galau terus nak... ibuk susah lek nontok pean jek arep-arep arek iku ae padahal parane nandi yo gak jelas." Lanjutan tuturan ibu membuat Rangga termangu, apa dia semenyedihkan itu selama ini? Kalau dipikir-pikir omongan ibu dan Johan ada benarnya juga, tapi entahlah susah sekali keluar dari belenggu itu.
"Iya bu, Rangga ngerti." Hanya itu yang keluar dari mulut Rangga. Ibu kembali berbicara perihal keberangkatannya nanti lalu sambungan mereka putus. Rangga memejamkan mata dan menghela nafas panjang sekali lagi sebelum berdiri untuk membangunkan Rani, mau tak mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
RaniberumahRangga
General Fiction*Ini hanya cerita klasik tentang benci jadi cinta.* Rani diputus secara sepihak oleh tunangannya dengan alasan tidak masuk akal tepat seminggu sebelum acara pernikahan mereka digelar. Namun demi melindungi ego dan harga dirinya yang tersakiti, Ran...